[34] Kepergian Luna

485 87 5
                                    

"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain."

Seluruh tubuh Aril seketika melemas. Terduduk di ubin lantai, bulir bening kembali menetes membasahi pipinya.

"Maksud dokter Luna sahabat Bira sudah tidak ada di dunia ini?"Tanya Bira, dokter mengangguk lesu.

Bira menggeleng tidak percaya. "Dokter nggak lucu kalo ini prank."

"Untuk apa saya prank jika bersangkutan dengan nyawa seseorang."Sahut sang dokter.

Menoleh melihat Aril."Aril dengarkan kata dokter tadi apa? Katanya Luna udah nggak ada, nggak mungkin'kan? Nggak mungkin Luna ninggalin Bira."

Bira mengguncang bahu Aril, sedari tadi kembarannya hanya diam tak bergeming.

"Aril bilang sama Bira
kalo dokter itu bohong!"Pekiknya.

Erlin menarik keponakan perempuannya. Bira menggeleng, matanya sudah berkaca-kaca.

"Aunty dokter bohong, kan?"

Bira benci ketika pertanyaan di jawab oleh tangisan. Menerobos masuk ke dalam ruang IGD, jantung Bira seakan berhenti berdetak di detik itu juga.

Menghiraukan beberapa makhluk tak kasat mata yang ada di ruangan itu. 

Satu suster menutup seluruh tubuh Luna dengan kain putih."kenapa nutup sahabat Bira pakai kain?"

Membuka kain putih itu, dilihatlah kondisi Luna yang sudah tidak bernyawa. Wajahnya pucat pasi.

"Luna bangun."Seru Bira menepuk pipinya pelan. Biasanya dalam tiga kali tepukan di bagian pipi Luna akan bangun dan merengek ketika Bira membangunkannya tidur. Sekarang dia tidak merengek, bahkan bangun meski tepukan nya lebih dari tiga kali.

"BIRA BILANG BANGUN LUNA!" Teriak Bira mengguncang tubuh tanpa jiwa itu. Tangis Bira berubah histeris.

Alan segera memeluk putrinya. Dia juga ikut menangis atas kepergian gadis perempuan yang sudah lama dia anggap sebagai putrinya sendiri.

"Enak ya jadi mayat itu, pas mati di tangisan orang-orang terdekat. Coba saya? Mendengar kabar bahwa saya sudah meninggal dunia, keluarga saya malah tertawa kegirangan."kata hantu pria tua memakai setelan jas keren tetapi di lumuri banyak darah.

"Kasihan banget ya lu."Celetuk suster ngesot penghuni ruang IGD.

Di luar ruangan Aril menangis pilu, janjinya untuk selalu membahagiakan Luna hilang
dalam hitungan jam.

Kembali ke beberapa saat lalu, dimana Aril dan Luna menikmati sarapan pagi bersama di tepi danau.

°°°

"Wajah kamu pucat, kamu sakit?"

"Enggak, aku sehat. Mungkin karena udara di sini dingin jadi wajah aku kelihatan pucat."Alibi Luna, padahal dari tadi kepalanya berdenyut nyeri.

Aril melepas jaketnya kemudian memasangkan jaket itu pada Luna.

"Pakai ini, jangan sampai pacar aku kedinginan."

Luna tertawa. "Terus kalo pacar aku kedinginan gimana?"

"Tenang aja, pacar kamu ini kuat."

Kedua remaja itu tertawa bersama. Duduk menghadap ke arah danau, kepala Luna bersandar di bahu Aril.

"Kalo aku udah nggak ada jangan tutup hati kamu buat orang lain, ya?"

SALBIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang