[38] Bukan Bira

462 68 3
                                    

Mendengarkan musik lewat earphone, Gea berjalan santai menuju lantai bawah hendak pergi ke dapur mengambil air minum.

"Take my love"

"I'll never ask for too much"

"Just all that you are"

"And everything that you do"

Langkahnya berhenti tepat di depan kamar Nadin, Gea melepas earphone yang menempel di telinga saat mendengar tawa mamanya.

"Hahaha, tidak ada kebahagiaan untuk keluarga kalian saat ini. Apapun akan aku lakukan supaya keluarga kalian menderita."

"Aku tidak suka melihat kalian
semua bahagia. Terutama dia."

"Keluarga siapa yang ingin mama buat menderita?"Gea melirih, sedikit celah pintu memperlihatkan Nadin yang sedang berdiri bersedekap
dada menghadap ke arah dinding.

Perlahan pintu kamar terbuka, Nadin menoleh melihat Gea yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya. 

"Sedang apa kamu di sana?"

Gea menelan ludah bulat-bulat, jangan sampai Nadin tahu dia menguping dialognya tadi.

"Eng-nggak, Ma."

Selama bertahun-tahun ini tatapan itu yang sering Gea dapati dari mama angkatnya. Tatapan sinis, seakan dia orang yang tidak di inginkan. Walaupun begitu Gea berusaha menjadi anak baik, karena Nadin bisa kapan saja mengusirnya dari rumah.  Sebab semua kekayaan Almarhum papa angkatnya sudah jatuh ke tangan wanita tempramental itu.

Baju hitam longgar dengan rambut sebahu menjadi ciri khas Nadin saat berada di rumah. Di lehernya terdapat sebuah kalung perak pemberian Alan sewaktu dulu.

"Mama udah makan malam?"Tanya Gea melangkah masuk ke dalam kamar.

Betapa terkejutnya gadis itu saat melihat poto seorang wanita yang pernah dia lihat tertempel di dinding, ada sepiring sesajen di bawahnya. Gea menoleh menatap Nadin.

"Saya sudah makan."

"Mama kenal wanita itu?"Gea menunjuk Poto Salbia yang sengaja dia tancapkan di dinding menggunakan sebuah paku pemberian makhluk pujaannya.

"Bukannya dia mama Salbira?"

"Untuk apa kamu bertanya?"Ketus Nadin.

"Pergi tidur, dan jangan banyak bertanya!"Titah wanita itu menarik Gea keluar dari kamarnya.

Pintu kamar di tutup begitu Gea sudah ada di luar kamar. Gea terdiam sejenak, berpikir bahwa mamanya membenci wanita itu.

"Setelah papa meninggal sikap wanita ini memang berubah drastis. Mulai dari sikapnya memperlakukan gue kasar sampai nada suara dan tatapannya itu. Sekarang, setelah dia pulang dari Singapura sikapnya malah tambah aneh. Dia benci sama mama nya Salbira. tapi, kenapa?"

"Dan, hampir setiap malam gue denger suara keenakan, suara siapa kalo bukan suara des*han wanita itu? Di rumah ini cuman ada gue dan dia."

"Apa jangan-jangan wanita itu diam-diam bawa cowok lain ke rumah ini? Dia ingkar janji mau
setia sampai mati sama papa?"

Berbicara dan berpikir sendiri, kakinya sibuk menaiki satu persatu anak tangga. Jujur saja selama ini sulit bagi Gea hidup berdampingan bersama Nadin. Untung saja selama tiga tahun terakhir ini Nadin pergi ke Singapura untuk menjalankan bisnis.

"Pasti malam ini wanita itu bakal ngedes*h lagi"Gea terus saja bermonolog. Duduk di sofa lalu meraih sebuah pigura poto kecil.

Perlahan tangan Gea mengusap poto itu. Dia merindukan ayahnya, meski kenyatannya dia bukan anak kandung. Gea hanya anak yang di ambil dari panti asuhan sejak dia masih bayi oleh almarhum ayahnya.

SALBIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang