19. Haruskah seperti dulu?

248 25 2
                                    

vote!

●●●

Pagi hari setelah matahari memancarkan sinar hangatnya, Jasmine mengajak anak sulungnya berjemur di lapangan rumah sakit agar anaknya tak terlalu stres karena terus berada di dalam kamar rawat.

Jasmine duduk di bangku taman, sedangkan Gael duduk di kursi roda.

"Rambut Kakak lepek sekali. Sudah hampir seminggu tak keramas." ucap Jasmine sembari menyisir rambut Gael dengan telapak tangannya.

"Keramas pakai dry shampoo saja, Bunda."

"Dry shampoo? Memang ada yang untuk manusia? Bukankah itu hanya ada untuk kucing atau anjing?"

Gael terkekeh dan tersenyum, "Bunda kurang update sepertinya. Ada sampo kering untuk rambut manusia Bunda."

"Nanti Bunda belikan untuk Kakak. Kakak nanti mandi dilap saja. Tak mandi normal."

"Bau nanti badan Kakak, Bunda. Kakak ingin mandi seperti biasa."

"Kakak walaupun tak mandi tetap sedap dan wangi."

"Itu terdengar seperti rasa masakan, Bunda. Bukan aroma badan Kakak."

●●●

Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Para murid kelas 7-A tengah memasukan buku-buku ke dalan tas dan bersiap untuk pulang sekolah. Setelah berdoa mereka semua berhamburan keluar kelas.

"Abang Zean, ayo kita ke rumah sakit menjenguk Kak Gael!" ajak Zein dengan semangat.

"Tidak mau. Untuk apa menjenguknya? Dasar anak bisu yang menyusahkan orang tua!"

"Mulut Abang tajam sekali. Pisau yang terkenal benda tajam pun, bisa kalah dengan mulut Abang! Mulut Abang jauh lebih tajam daripada pisau!" ucapnya dengan mengebu-gebu menahan amarahnya.

"Aku tak ada waktu untuk menjenguknya. Dan apa peduliku padanya? Sampai kapanpun juga aku takkan peduli padanya, Zein." Zean meninggalkan Zein di dalam kelas.

"Ya Allah hiks ... kapan Abang berubah? Zein merindukan Abang yang dulu. Abang yang menyayangi Kak Gael." Zein menghapus air matanya. Dan bergegas keluar dari dalam kelas.

"Zein? Kenapa kamu menangis? Apakah kamu berkelahi dengan saudara kembarmu?" ucap Abgail menghampiri Zein. Tetapi Zein tak menjawab.

"Sepertinya aku tahu jawabannya." jawabnya sendiri dengan kikuk. "Kau hendak ke mana?" tanyanya lagi.

"A-aku hendak pergi ke rumah sakit untuk menjenguk kakak pertamaku."

"Menjenguk kakak pertamamu? Bukankah kamu ... hanya memiliki seorang kakak yaitu, Zean?"

"Aku memiliki dua orang kakak. Kak Gael dan Abang Zean."

"Jadi ... anak yang kukira sepupumu, adalah kakak sulungmu?"

"Ya. Dia bukan sepupuku, tetapi kakak sulungku. Aku tak peduli jika nantinya kamu menjauhiku hanya karena aku memiliki seorang kakak yang bisu."

"Aku takkan seperti itu, Zein. Aku pernah bertemu dengannya, Zein. Dia sangat tampan dan sepertinya baik hati. Mungkin menjadi kakak yang terbaik bagimu."

"Kamu pernah bertemu dengannya, Abgail?"

"Pernah, ketika kerja kelompok di rumahmu. Kebetulan aku satu kelompok dengan Zean. Aku bertemu dengannya ketika berpapasan di ruang tamu. Dia hanya tersenyum kemudian mempercepat langkahnya dan berlari menaiki tangga. Kutanya Zean, dia menjawab itu sepupunya yang tinggal bersama keluarga kalian. Aku tak percaya ucapan Zein, karena dia mirip sekali dengan kedua orang tua kalian,"

Aksara Yang Berbicara (Terbit)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang