Sejak sore tadi perasaan cemas masih menghampiri Gael. Gael masih terbayang-bayang dengan kejadian yang hampir menimpa dirinya.
Jam menunjukkan pukul 2 malam. Tetapi kedua kelopak matanya sukar untuk dipejamkan. Rasa kantuk yang tadinya menghampirinya kini pergi begitu saja.
"Saking kepikiran kejadian tadi, membuat Gael sulit untuk tidur. Bolehkah Gael meminum obat tidur? Besok Gael bersekolah." batinnya.
Gael memilih untuk bermain ponsel. Gael berharap rasa kantuknya kembali datang ketika ia memainkan ponsel.
Setes air mata mengalir dari sudut manik Gael ketika ia melihat foto terakhir dirinya dengan Jamal.
"Kenapa kamu pergi Jamal? Kenapa obrolan waktu itu menjadi kenyataan?"
"Kak Gael, jika Jamal pergi, apa Kak Junino akan memaafkan Jamal dan menyanyangi Jamal? Kalau Jamal pergi, Jamal bisa memberikan jantung Jamal untuk Naresh."
Percakapan itu masih teringat jelas di ingatan Gaelm
"Kak Junino, dia benar-benar menyesal telah bersikap buruk padamu, Jamal."
"Naresh ... dia belum mengetahui kalau kamu sudah tiada. Om Agung bingung bagaimana memberi tahu Naresh, Jamal?"
●●●
"Alhamdulillah, akhirnya sampai rumah dengan selamat dan sudah dua hari orang itu tak mengikuti Gael lagi." ucapnya lalu merebahkan dirinya di atas kasur tanpa mengganti pakaiannya.
"Gael masih penasaran dengan orang itu? Siapa dia? Kenapa mengincar Gael?"
"Kak, mau ikut Ayah ke rumah Om Agung? Jenguk Om Agung dan Naresh. Sudah beberapa hari ini Om Agung sakit dan Naresh, baru kemarin pulang dari rumah sakit." ucap Fahadh ketika membuka pintu kamar Gael. Gael hanya menjawab dengan anggukan dan kemudian mengganti bajunya dengan pakaian santai.
Setelah beberapa menit perjalan, akhirnya mereka sampai di rumah Agung. Mereka juga membawa beberapa bingkisan untuk Agung dan anak bungsunya yang baru saja keluar dari rumah sakit.
"Assalamu'alaikum!" ucap Fahadh ketika mengetuk pintu rumah Agung.
"Wa'alaikumussalam," balas seorang asisten rumah tangga dari dalam rumah sembari membuka pintu.
"Pak Agung ada, Mbak?"
"Ada di kamarnya. Silahkan masuk Pak!"
Sebelum Fahadh masuk ke kamar Agung, Fahadh menyuruh Gael untuk menemani Naresh yang tengah menonton TV sendirian di ruang keluarga lantai dua.
"Agung." panggil Fahadh ketika membuka pintu kamar Agung.
"Fahadh. Kamu datang menjengukku?" tanya Agung dengan nada pelan.
"Ya. Lantas apa lagi selain itu?" Kemudian Fahadh menutup kembali pintu kamar. Kemudian duduk di samping ranjang Agung.
"Aku merindukan Jamal, Fahadh. Ingin rasanya aku menyusulnya dan memeluknya dengan erat di surga sana."
"Kau boleh merindukan Jamal. Tapi kau jangan berkata seperti itu! Itu sama saja kau memberatkan Jamal." tegur Fahadh.
"Tugasmu saat ini hanya mendoakan Jamal. Sudah. Itu saja. Jamal sudah bahagia di surga, Agung."
"Kau benar. Anak surgaku sudah bahagia."
"Aku salut padamu yang menerima keadaan Jamal lahir batin. Sedangkan aku, malah membenci anakku karena terlahir bisu. Selama 16 tahun aku membencinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Yang Berbicara (Terbit)✓
Teen FictionSemua beranggapan bahwa tidak ada manusia yang terlahir sempurna. Namun bukan berarti hal itu berlaku bagi semua orang. Bahkan hanya karena satu kekurangan - berkata tanpa suara dan melalui aksara adalah bagaimana cara Gael berinteraksi. Seakan semu...