7...

185 16 1
                                    

Arin membawa Evans ke ruangannya.

"Aku yang akan bicara dulu kali ini"
Evan sudah menyela bahkan ketika pintu baru tertutup.

"Aku tidak melaporkan apapun ke polisi, thats not me. Kau pikir aku gila melakukan hal itu ha?"

"Dan untuk apa kau menjelaskannya lagi setelah membentakku di telpon?"
Arin mengatakan seringan kertas. Jangan sampai ada api yang tersulut karena dia sebenarnya bukan orang yang mudah marah.

"cause my friend of course. he's being treated in the room over here"
Evans menghela nafas lelah sambil membuang wajah sejenak.
"kau, menolak tawaran dari ku. Aku bisa terima itu but, tolong jangan biarkan ada satupun keamanan negara menyeretnya."

Sejujurnya Arin masih belum mengerti dengan ucapannya.

"Why? Apa karena kau benar-benar penjahat?"
Arin tidak suka bertele-tele. Apapun itu ia ingin sebuah kejelasan.

"No!..... Ck. oke, kau bisa menganggap ku begitu saat ini. Aku tidak bisa menjelaskan apapun pada seseorang yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan ku"
Evans benci ketika ia tidak bisa menjelaskan apapun karena menjaga privasinya dengan orang yang tidak ada sangkut pautnya.

Arin mengekpresikan kebingungannya pada gerakan tangan dan raut wajah yang kesal.

"Oke, pembicaraan kita selesai. Aku tidak perduli padamu atau apapun tentang pekerjaan mu. Jangan ganggu aku atau siapapun dalam hidupku. Silahkan keluar sekarang"
Akan Arin akhiri di sini saja.
Ia tidak mau pekerjaan dan hidupnya terasa terganggu dengan adanya Evans.

Evans terlihat mengangguk kecil, itu bukan berarti mengiyakan ucapan Arin melainkan menegasakan keinginan di dalam hatinya.

Mereka tidak akan cocok dalam kerja sama ini sepertinya. Pria itu kemudian berjalan pergi dari ruangan Arin. Mereka tidak dalam keadaan buruk atau salah paham, hanya sekedar pembicaraan yang kurang berjalan dengan baik.

Suara helaan nafas terdengar seakan telah mengeluarkan seluruh beban yang ada di dalam dirinya.

Mereka sama sekali tidak memiliki urusan apapun saat ini. Arin yakin mereka tidak akan pernah bertemu lagi dan ia harap jangan pernah.

Arin keluar dari ruangannya. Wajahnya terlihat tidak begitu bahagia entah karena apa. Caya menunggu dirinya langsung menghampiri Arin, wanita itu punya segudang pertanyaan untuk sahabatnya. Tetapi karena melihat wajahnya yang murung semua pertanyaan itu ditahan.

Hari itu berakhir begitu saja, Arin pulang ke apartemennya. Inilah pekerjaan yang ia hadapi, terkadang Arin harus bertemu dengan beberapa orang yang aneh dan seakan bisa menyusahkan dirinya.

Pria bodoh bernama Evans benar-benar sangat menyebalkan. Ia tidak bersikap profesional layaknya pembisnis hanya karena sesuatu yang di katakan privasi.
Itu yang selalu Arin pikirkan tentang Evans

Kejadian kemarin telah berlalu.
Evans berusaha untuk tidak perduli lagi pada keuntungan Arin dalam bisnisnya. Ini hal yang tidak terlalu sulit untuk dilakukan.
Ia hanya butuh rumah sakit atau ia bisa membayar dokter serta perawat pribadi.
Itu akan menjadi ide yang bagus.

Mobil pria itu berhenti di depan sebuah jalan sempit. Tak jauh dari sana sebuah rumah dengan halaman yang begitu besar terlihat sangat terawat.

Ini pukul 9 pagi, seharusnya wanita penghuni rumah itu akan keluar sambil membawa tas berisi buku dan kembali di jam 11 bersama seorang anak laki-laki yang masih TK.

Tebakannya tak pernah salah. Evans kini memandang lekat pada sesosok wanita berambut indah yang keluar terburu-buru.
Dia membawa tas yang terlihat cukup berat dan bergegas pergi dari rumahnya.

Ini sudah lebih dari 5 tahun. Ketika Evans meninggalkan wanita itu. Seharusnya setitik rasa akan mudah terhapus oleh waktu.
Setelah wanita itu hilang dari pandangan, kini Evans yang pergi dengan mobilnya.

Ia sudah berpikir sejak lama. Memiliki bisnis besar itu cukup mengambil banyak resiko.
Tapi Evans seperti punya obsesi lain untuk mendapatkan hal-hal yang bahkan ia tak tahu apa itu. Apakah dollar lainnya atau menjadi sangat kuat dan di takuti
Pria tua yang menyedihkan.

Kini laju mobilnya terarahkan pada sebuah casino. Tempat itu cukup rahasia, di tutupi oleh restoran seafood. Usaha cerdas untuk menyamarkan deteksi judi oleh polisi.

Di depan tempat tersebut Riko dan beberapa bawahnya telah menunggu. Ia terlambat kali ini hanya untuk melihat wanita dari masa lalunya.

Mereka masuk ke dalam sana, melewati pintu yang hanya bisa di akses oleh beberapa orang saja.

Saat masuk Evans berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Matanya menyapu tempat itu dan terfokus pada salah satu slot yang ramai. Meja judi yang di penuhi oleh tawa orang-orang tua yang di kerubungi oleh para wanita seksi.

Mereka, Evans dan laki-laki tua berkumis sempat saling bertatapan hingga akhirnya Evans berjalan mendekat.
Bekerja, inilah waktunya.

Para wanita di sekitar sana sudah melemparkan tatapan penuh goda. Mangsa baru mereka, mungkin mereka akan mendapatkan berapa juta untuk menemani sang tuan tampan.

Evans duduk di kursi kosong sedangkan permainan tetap di lanjutkan.
Ia menyadarkan punggungnya, ini bukan pertama kalinya ia bertemu dengan Andre Boas.
Pria tua yang sangat aktif, harusnya ia bertaubat saat melihat usia dan banyak uban di rambutnya. Tapi nyatanya ia masih ada di tempat penuh dosa itu bersama senyuman senang.

"Kau terlihat lebih muda dari yang ku bayangkan"
Kata Andre, ia sekali-kali menatap ke arah meja untuk mengeluarkan kartu selanjutnya.

Evans tau itu adalah pujian. Tapi saat ini ia tidak begitu tertarik pada omongan seperti itu. Evans mengadahkan satu tangannya, dan Riko memberikan sebuah tas yang menggunakan keamanan kode untuk membukanya.

Evans membuka kotak tersebut dan langsung menunjukkan apa yang ia tawarkan pada Andre.
Batu permata, Andre mendapatkan itu dari menang judi bertaruh pada pengusaha Dominika.

Karena benda itu sangat berharga Andre meminta bantuan pada Evans yang sudah menjadi ahli dalam mengawal barang tanpa tertangkap oleh beacukai.

Andre terlihat tersenyum senang. Ia menelan Saliva sambil mengulurkan tangannya untuk mengambil Kotak tersebut.

Sejenak kemudian dia menatap ke arah Evans yang seakan bangga pada dirinya sendiri. Tatapan percaya diri yang sangat kental.

"Uang sudah di transfer. Senang berbisnis dengan mu."

"Aku pun sama"

"Oh, kau bisa membawa beberapa gadis di sana jika mau"

Evans melirik ke arah meja lain, para wanita cantik dengan tubuh mereka sebagai bahan penawaran memasang senyuman padanya.

Ia tersenyum miring, matanya kembali memancarkan pesonanya.
Evans berdiri sambil merapikan jasnya.

"Kalian ingin pesta?"
Tawar Evans pada Riko dan seluruh anak buahnya. Tapi mereka hanya menjawab kekehan, akan menyenangkan jika mereka berpesta bersama gadis cantik bukan?
Tapi bukankah ini terlalu pagi untuk sebuah tequila.

.

.

.

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang