13...

87 12 4
                                    


Arin melihat hujan yang lebat dari kaca apartemennya. Ia sedang menunggu pesanan makanannya datang sambil mengobrak-abrik wadah surat.

Ia sangat antusias pada undangan yang Caya kirimkan.
Hingga akhirnya ia terfokus pada surat lain.

Surat warna pastel lainnya. Arin iseng saja apa isi surat itu, mungkinkah hal yang sama?

Tas beruang, baju putih, topi biru.
10.00 monster itu benar benar telah menghilangkan nyawa.
Tolong!

Arin mengerenyitkan dahinya.
'tunggu dulu'
Batin Arin kemudian mengobrak-abrik lacinya. Bukankah ini Surat yang ia pikir berasal dari orang yang sama?

Ia menemukan surat itu. Benar tulisan dan kata katanya hampir sama.
Ia kemudian langsung menghubungi Olivia.

"Iya Miss?"

"Siapa yang mengirimkan surat kecil padaku?"

"Surat kecil?"

"Surat yang sampulnya berwarna pastel"
Arin tidak bisa mengontrol rasa berdebar dalam dirinya. Ia seakan mulai mengerti akan satu hal.

"Maaf miss, surat itu anonim jadi aku pikir itu tidak penting, surat yang sama sudah aku pisahkan. Entah mengapa tetap ada di tempat Anda"

Arin menatap kosong, tapi pikirnya penuh hingga tidak bisa fokus pada satu hal. Dalam satu titik Arin langsung mengambil jaketnya dan kunci mobilnya.

Hujan memang deras tetapi Arin ingin mengungkapkan sesuatu yang terus mengganjal pikirnya setelah membaca surat tadi.

Ia menggabungkan beberapa kebetulan yang baru ia alami beberapa Minggu ini.
Anonim surat yang aneh, polisi yang datang, dan apa yang terjadi.

Mobilnya saling bersaing dengan mobil lain di jalan raya. Hujan deras ini begitu membahayakan jika tidak berkendara dengan baik. Namun, Arin tak bisa memikirkan apapun saat ini selain sampai di rumah sakit dengan cepat.

Petir dan kilat terus menyambar di sepanjang jalan. Bahkan ketika ia masuk ke dalam rumah sakit yang sepi masih terdengar beberapa suara menggelegar.

Nafas Arin tersengal, ini karena suasana yang dingin. Ia lantas membuka salah satu pintu.

"Aku perlu bicara dengan mu"
Kata Arin dan berjalan memasuki salah satu ruang rawat yang sepi.

Ia di dalam di susul dengan seseorang yang menatap bingung ke arahnya.

"Apa... Yang kau lakukan pada anak anak?"
Kata Arin dengan mata yang terlihat begitu tajam. Suaranya masih terdengar rendah, sebesar itu ia menahan perasaan membara yang berusaha mendobrak emosinya.

Pria itu hanya diam lantas memasukkan dua tangan ke jas dokternya.
Ia menghela nafas kemudian menatap balik Arin.

"KAU CELAKAI MEREKA!"
Suaranya terdengar nyaring di sana. Ini shiff malam dimana tak semua perawat dan dokter berlalu lalang. Kesabarannya telah habis begitu saja melihat raut biasa saja dari dia.

"Apa yang Anda maksud nona? Aku tidak mengerti"
Ia seakan terlihat mengelak.
Tapi Arin sudah muak dengan wajah sok baiknya.

"Aku akan melaporkan mu ke polisi!"
Arin berjalan ingin keluar dari sana.

"Anda sangat berani"
Pria itu berjalan mendekat, ia meraih sebuah gunting kapas di atas meja.

Arin menatap pergerakan itu berjalan mundur perlahan.

"Dasar Ardi BRENGSEK!"
Arin melemparkan apapun peralatan yang ada di sekitarnya. Namun pria itu bergerak cepat untuk menahan Arin dan menusukkan gunting itu secara gencar padanya. Arin tidak cukup berani menangkis ketika benda tajam terlihat sangat mengancam.

Lengan Arin tertusuk cukup dalam. Tapi ia masih kuat memberontak di saat pria itu berusaha melukainya.

Segala perlawanan berusaha Arin lakukan. Ia sampai menjerit keras karena yakin pasti ada orang di sekitar sana terutama rumah sakit ini cukup ramai.

Sayang sekali sebuah pukulan kuat ia harus rasakan pada kepalanya, membuat Arin pusing dan tidak bisa fokus.
Pukulan kedua pada pipinya membuat Arin jatuh, dan di kesempatan itu membunuh Arin akan sangat mudah.

Ketika itu orang lain benar datang lalu memukul Ardi dengan tiang infus hingga benda itu penyok. Bukan hanya sekali, ia memukul Ardi berkali-kali. Hantaman lain dan tendangan lain sampai Ardi tak kuat untuk bangkit.

"Mr.Guilloux!" Lirih Arin sambil berusaha bangkit.

Saat Ardi tak sadarkan diri Evans menatap Ardi dengan kepuasan sendiri dan mengalihkan pandangannya pada Arin.

Nafas yang memburu dan ketakutan. Arin benar-benar dilanda kekhawatiran yang membuat air matanya meluruh.

"Kau tidak apa-apa?"
Katanya berjalan sempoyongan. Namun setelah kata itu terucap Evans jatuh, Arin spontan menangkap Evans yang tak sadarkan diri.

"Evans, bangun!"
Tak kuat menopang tubuh besar itu Arin jatuh terduduk sambil menatap kebingungan.

"Evans!"
Arin melihat keadaan pria itu.

Darah! Arin menemukan bahwa pakaian Evans di bagian perut di penuhi darah.

"Evans Evans, Evans!"

Tak lama dari hal itu. Banyak orang yang datang termasuk anak buah Evans. Terjadi kericuhan dalam hal ini sebelum akhirnya mereka membawa Evans untuk penanganan lebih lanjut.

Arin masih menangis, ia hampir mati dan ia masih ketakutan dan belum merasa tenang.

"Miss!"

Olivia datang setelah mendapatkan kabar dari resepsionis.

"Anda terluka"
Di saat ini Arin baru menyadari bahwa lengannya terasa begitu sakit. Rasa ngilu dan aroma anyir kemudian tercium.

Arin hampir jatuh lemas. Para dokter dan perawat kemudian langsung menghampiri Arin. Dadanya mulai sesak dan Arin khawatir asmanya kambuh.

Kacau balau.
Ia tak tahu akan sekacau ini. Semua terjadi begitu cepat hingga Arin seperti orang yang linglung.

Ini benar-benar di luar kendalinya.

Keadaan menjadi lebih kondusif, tepat pada pukul tiga pagi semuanya sudah di tangani.

Polisi sudah datang dan membawa Ardi pergi dengan tuduhan awal penyerangan dan percobaan pembunuhan terhadap Arin.

Evans belum sadar ketika Arin harus meninggalkan rumah sakit. Dokter menyarankan agar dirinya beristirahat di rumah.

Tapi wanita itu bahkan masih membuka lebar matanya, ia berada di depan tv dengan selimut tebal dan teh hangat. Olivia tetap ada di apartemennya untuk menjaga Arin.

Tatapan Arin masih kosong, ia mengalami syok berat. Sedangkan sambil menjaga Arin Olivia mengusahakan agar hal yang terjadi tadi tidak menyebar luas dan menyebabkan rumor.

Suara denting pintu apartemen yang terbuka membuat Olivia menoleh. Suara sepatu terdengar mendekat secara terburu-buru.

Benar, Olivia mengubungi Caya dan membuat wanita itu pulang dua hari lebih awal.

Ia pikir ini adalah keadaan genting yang perlu di beritahu.

"Arin"
Caya menghampiri Arin.

Mereka berdua saling bertatapan, tanpa ada obrolan yang memulai. Tapi sudut mata Arin kembali tergenangi air mata. Mengingat lagi ia hampir mati tadi, manusia mana yang tak takut? Caya langsung memeluk Arin untuk menenangkan wanita itu.

Caya tak akan bertanya apapun. Ia akan bicarakan hal ini lain kali saja. Akhirnya setelah Caya datang Arin bisa tidur masih tetap di depan tv.

Dan kini adalah tugas Olivia dan Caya. Mereka berdua harus memutar otak agar masalah ini tertutupi dengan mengalihkan rumor yang akan muncul.

Citra rumah sakit milik Arin akan rusak parah jika hal buruk tersebar. Mereka harus berusaha membungkam beberapa orang yang mengetahui hal yang lebih.

.

.

.

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang