11...

77 10 4
                                    

Arin masih merasa sangat kesal, bisa-bisanya Evans menahan tangannya dan membuat dirinya malu karena tidak bisa menampar pipi pria itu.

Arin berjalan langsung menuju pria tua bernama Alfian yang terlihat sedang mengobrol bersama istrinya.

"Selamat atas pernikahan kalian... Tuan dan nyonya"
Arin menyalami keduanya dengan senyuman manis yang ia usahakan.

"Terimakasih, Anda nona Arin bukan? CEO Blue Sky."

"Benar"

"Wah, wanita yang hebat. Aku pikir seharusnya teman ada di sini? Di mana Caya?"

"Dia sedang keluar kota untuk bisnis. Dia sudah menitipkan banyak hadiah untuk kalian"

"Kau sudah menikah nak?"
Tanya istri Alfian, yang Arin ketahui dia bernama Viona.

"Ee, belum kebetulan aku belum berpikir untuk menikah"
Balas Arin, bahkan Arin belum punya kekasih.
Ups, mungkin ia akan punya satu. Rion? Apakah mereka sudah bisa jadi kekasih?

"Ya ampun nak, kau terlihat sudah siap untuk semua itu"
Viona seperti menyayangkan keadaan Arin yang masih melajang.
Alfian terlihat tersenyum menyambut dirinya dengan baik. Arin menganggap pria itu sangat ramah dan terbuka.

"Oh, mungkin kau tertarik pada salah satu rekan ku?"
Alfian menggerakkan dua jari untuk menyuruh seseorang datang ke sana.

Arin menoleh untuk melihat siapa orang yang Alfian maksud.

'oh shit! Don't tell me..him again, Seriusly?'

Apakah ini kutukan untuk dirinya atau apa? Mengapa selalu saja sama?

Evans menatap Arin saat dia berjalan mendekat bahkan setelah mereka saling berhadapan.

"Ini Mr. Guilloux. Dia punya bisnis keamanan barang. Kau bisa minta bantuan untuk barang mu mau aman dalam perjalanan."

Arin menyipitkan matanya.

'huh bisnis, aku tak percaya preman ini sangat terkenal'

"Evans Le Guilloux"
Katanya sambil mengulurkan tangannya. Tatapan penuh cemooh, oh bahkan bisa melihat jelas apa arti tatapan itu.

'pasti dia sedang mentertawakan diriku karena kejadian tadi'

"Arin"
Tanpa menjabat tangan Evans Arin hanya mengucapkan namanya.

"Evans kau bisa berikannya pada nona Arin"
Ujar Alfian bersamaan dengan tamu penting lain datang menghampiri dirinya.

"Jadi kau pemilik benda ini?"
Evans bergeser sehingga mereka saling berhadapan di atas panggung.
Pria itu merogoh sakunya mengeluarkan sebuah kotak kecil dan memberikannya pada Arin.

"Bukan"
Arin lantas mengambil kotak tersebut dan berjalan pergi. Jangan bilang juga kalau Evans menjadi mitra Alfian.

Evans terus memperhatikan Arin bahkan di saat wanita itu pergi dari acara tersebut.

Arin akan segera pulang. Ia sudah menyelesaikan urusannya. Wanita itu penasaran apa yang Caya dapatkan dari Alfian sehingga Arin membuka kotak tersebut.

Purple diamond

Arin bukan pencinta perhiasan tapi ia tak buta mengetahui berlian itu cukup langka. Yang Ia tahu satu tambang di Australia yang menemukan berlian ini.

Arin berdecak sambil menggelengkan kepalanya. Orang kaya tidak akan merasa kehilangan hanya karena satu perhiasan kecil itu di berikan bukan. Tapi apakah Caya pantas mendapatkan itu hanya karena membantu Alfian mendapatkan istrinya. Pasti Caya senang sekali melihat ini.

Bahkan Arin mendapatkan sofenir emas 5 gram dari pesta pernikahan ini. Mereka benar-benar menggunakan uang seperti tidak akan ada habisnya.

"Hujan lagi"
Kata Arin ketika mobilnya keluar dari parkiran gedung.

Ini memang sudah memasuki musim penghujan, musim yang sangat di tunggu petani padi.

Tak deras, tetapi Arin bisa menebak datangnya hujan ini terasa dingin.
Hampir ia sampai perempatan jalan, ia belum sampai pada lampu merah. Tapi ia merasakan kalau jalanan terasa begitu padat.

Arin mulai menerka-nerka apa yang terjadi di ujung jalan. Apakah ada barkade atau yang lainnya sedang tampil. Atau karena hujan mereka menjadi lebih berhati-hati untuk tidak memacu kecepatan tinggi karena jalanan yang licin.

Mobilnya kini melaju perlahan, dan mulai melewati perempatan itu. Banyak orang di tengah jalan juga bahu jalan.
Ada mobil polisi dan juga ambulance.

"Kecelakaan"
Arin sambil berusaha melihat keadaan di sana, hatinya merasa tidak enak. Ini seakan pernah ia alami sebelumnya.

Countdown...

Saat itu, Arin harus mengganti infus yang sudah habis pada pasien yang terbaring lemah.

Berita tentang kecelakaan beruntun di tayangkan pada acara kilas berita subuh. Arin sempat melihatnya sekilas di telivisi rumah sakit ketika mengambil cairan infus.

Kini ia tahu bahwa semua orang yang ada di rumah sakit ini mengalami kecelakaan yang cukup berat semalam.

Arin mengintip ke salah satu jendela, melihat keadaan seseorang di sana. Pria brewok yang hampir membuat jantungnya berhenti berdetak, beruntung saja dia masih hidup.

"Sudah ya pak, nanti kalau butuh bantuan minta keluarga bapak untuk panggil perawat ya"
Ujar Arin dengan senyuman tulus pada pasien itu lalu berjalan keluar dari ruangan.

"Tolong biarkan aku masuk"

"Maaf nona, saat ini tuan belum bisa di jenguk"

Suara kegaduhan mengalihkan pandangan Arin. Di depan pintu rawat terlihat beberapa orang saling berdebat akan sesuatu.

Arin hanya berjalan sambil terus menatap kegaduhan itu sambil menghampiri temannya di depan resepsionis yang sama-sama menonton hal itu bukannya melerai mereka.

"Mereka kenapa?"

"Entahlah, wanita itu ingin masuk melihat keadaan orang yang di dalam sana. Tapi penjaga itu tidak memperbolehkannya."

"Memangnya mereka siapa?"
Arin mengerenyitkan dahinya heran. Mereka malah membuat keributan.

"Entah"
Jawab temanya.

Arin menggeleng dan melihat jam di tangannya.

"Aku pulang dulu ya"
Ini sudah pukul enam dan Arin bisa pulang lebih awal.

"Iya hati-hati"

Ia di lorong dalam niat mengambil tas dan jaketnya sampai tak sengaja menabrak seseorang hingga hampir jatuh.
Arin tidak memperhatikan jalan dengan benar, ia salah dan ia akui itu.
Jujur saja ia sangat lelah sekarang.

"Maafkan saya, saya tidak sengaja"
Arin hanya melirik pria yang menggunakan Hoodie hitam.
Wajahnya terlihat lebam. Ia tak mengatakan apapun, pria yang aneh. Dengan begitu Arin bergegas keluar setelah membawa tas dan mengenakan jaket.
Udara begitu dingin di tambah lagi gerimis yang datang mendahului matahari.

Motornya melewati sebuah tragedi di jalan. Beberapa mobil yang ringsek belum di derek, bahkan di jalan itu masih terlihat beberapa bagian mobil yang tercecer.

Arin memperhatikan jalan itu dengan hati penuh kengerian. Motor korban lain yang terlihat sudah kehilangan ban depan. Tak terbayangkan betapa mengerikannya malam itu.

Ia sudah sampai di rumah sambil mengingat kejadian itu. Kecelakaan yang terjadi sama seperti ingatannya dulu, pantas saja terasa tidak begitu asing.

Sudahlah ia lelah, besok Arin harus bekerja seperti biasanya.

.

.

.

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang