14: berfikir ulang

83 11 0
                                    


Cerah, cahaya matahari terhalang masuk oleh gorden yang belum terbuka.

Arin masih terlelap, begitu juga yang lain. Pada akhirnya Caya dan Olivia baru bisa tidur setelah subuh. Mereka tidur di tempat yang terpisah.

Olivia tidur di sofa lain yang ada di dekat Arin, sedangkan caya tidur di meja kerja Arin.

Suara dering telepon dari ponsel yang ada di atas meja membuat Caya terkejut dan terbangun. Tidak, ia bukan hanya terbangun tetapi juga jatuh dari kursi.

Ia mengaduh tetapi tangannya menyisir atas meja untuk mendapatkan telponnya.

"Apa? Bagaimana? Haruskah sepagi ini haaa!"
Caya langsung melemparkan banyak pertanyaan dengan kesal.

"Maaf nona, polisi meminta izin untuk memeriksa lebih lanjut TKP. Pengajuan kasus pembunuhan terhadap anak-anak belum bisa di ajukan karena kurangnya bukti dan kejelasan"
Jelas sekretaris Caya yang ikut ia libatkan dalam hal ini.

Caya menatap Arin yang masih tidur. Bahkan wanita itu masih ada di atas lantai saat menjawab telponnya.

"Aku bakal bicara dulu dengan Arin. Akan aku kabari lagi nanti"
Ia menutup telpon kemudian berjalan menuju ke dapur untuk mengambil air.

Di saat itu Arin mulai membuka mata dan melihat keadaan sekitarnya. Tiba-tiba ia lengannya dilanda nyeri akut beberapa detik setelah ia sadar.

Benar saja, ia tahu efek bius pada tubuhnya sudah hilang sehingga rasa sakit akan ia rasakan. Ini menjengkelkan karena tangannya juga terasa ngilu.

Caya melirik Arin yang sudah bangun lalu menghampiri wanita itu sambil membawa segelas air putih.
Caya mengambil roti isi dari dalam kulkas dan langsung memakannya tanpa memanaskannya terlebih dahulu.

"Kamu tau, aku belum makan apapun pas pulang, dan aku benar-benar laper"
Tutur Caya terus melahap roti di tangannya.

Arin menghela nafas, ia akhirnya bisa merasa lebih tenang dari yang sebelumnya.

"Polisi masih mengintrogasi si brengsek itu. Aku sudah menelpon pengacara mu dan tadi mereka meminta izin untuk memeriksa TKP. Apakah gak apa kalo ada polisi datang?"
Kata Caya sambil memperhatikan lengan Arin yang di perban.

Caya juga melihat wajah Arin yang terdapat beberapa lebam. Di pipinya yang paling terlihat menonjol, warna biru keunguan.

"Aku cuma takut para pasien akan ketakutan dan banyak dari orang tua khawatir dan tidak percaya lagi pada rumah sakit ku"
Jelas Arin.
"Dimana Olivia?"

Caya mengisyaratkan keberadaan Olivia dengan gerakan mata dan bibirnya. Wanita itu sedang tidur nyenyak di atas sofa.

"Aku masih gak ngerti mengapa kamu bisa sampai ada di sana."
Caya melompati sofa dan duduk di samping Arin.
"Maksudku apa kamu mengamati si brengsek itu hm, kenapa kamu langsung tahu ada yang gak beres pada dokter itu?"
Caya akan memaksa wanita itu bercerita pagi ini.

Arin terdiam beberapa saat untuk menjelaskan semuanya. Ia mengambil nafas dan membuka mulut tetapi Caya malah mengangkat tangannya menahan apa yang ingin Arin katakan.

"Tunggu, aku pesan makanan dulu"

Arin menatap jengah kelakuan wanita di depannya.

"Oke lanjutkan"

Arin kembali menghela nafas.
"Kamu inget surat warna pastel yang ada di meja ku?"

"Hu um"

"Dua hari setelahnya ada polisi yang datang ke rumah sakit"

Caya mengangguk kembali membenarkan hal itu.

"Gak lama aku bertemu dengan Mala, dia pengidap gagap dan aku bingung mengapa dia menghampiriku seperti ingin mengatakan sesuatu. Setelahnya aku baru sadar pada surat ke dua yang kembali di kirimkan."
Arin bangkit menuju ke mejanya berjalan untuk mengambil surat tersebut dan Caya mengikuti Arin di sana.

"Tas beruang, baju putih, topi biru.
10.00 monster itu benar-benar telah menghilangkan nyawa.
Tolong. ini adalah kode, Mala mengenakan topi biru saat itu dan jam sepuluh adalah waktu dimana ia harus bertemu dengannya."

Caya berfikir sejenak. Ia sedikit bingung tetapi memaksa pikirkan nya untuk bekerja.

"Lalu, darimana dia tahu alamat mu?"

Arin kemudian terdiam ikut berpikir. Alamat mengartikan sesuatu yang privasi. Dan akan sangat sulit di temukan.

"Oke lalu, alasan lain apa yang membuat kamu percaya ada sesuatu yang salah pada dokter itu?"

"Obat penenang, tak seharusnya anak kecil di berikan obat penenang. Kamu pasti tahu bagaimana anak kecil bukan. Dan obat penenang tidak di anjurkan pada anak-anak."
Dan dari sana ia berfikir mungkin semua anak-anak yang datang untuk berobat selalu di berikan obat itu.

Mereka berdua diam sejenak. Tak lama Olivia terbangun dan sedikit terkejut melihat dua bosnya sudah di buat berfikir pada masalah ini.

"Tapi bagaimanapun itu, kamu bodoh sekali. Kenapa gak membawa siapapun bersamamu hah?!"
Cerca Caya, jika Arin mati bagaimana. Itu yang sempat Caya pikirkan.

Arin langsung teringat pada Evans, pria itu juga ada di sana kemarin malam. Dan baru muncul pertanyaan lain ketika melihat Evans terluka. Padahal Arin yakin pria itu sangat mampu menghajar Ardi tanpa terkena tusukan.

"Aku panik!"
Balas Arin.

"Kita harus ketemu sama anak bernama Mala itu"
Caya kemudian berjalan menuju ke arah tas nya yang bahkan belum di bereskan.

"Sekarang?"
Arin tidak yakin karena ia merasa sedikit demam.

"Kalo kamu mau si brengsek itu cepat di penjara kita harus bergerak sekarang juga. Tapi aku harus makan dulu"

Caya benar, Arin harus segera menyelesaikan masalah ini agar tidak berakhir sulit.

Dalam keadaannya Arin memaksakan dirinya meskipun dokter menganjurkan dirinya untuk beristirahat.

Caya bukan bermaksud menjadi teman yang buruk karena memaksa Arin dalam keadaannya. Namun, jika kasus ini tak segera mereka tangani. Nama Arin juga yang akan berubah menjadi buruk.

Caya yang menyetir saat mereka akan berangkat ke rumah sakit.
Dan ketika saat mereka sampai di sana, terlihat beberapa perawat dan dokter berkumpul. Arin tau apa yang mereka bicarakan, ia tak lagi merasa heran.

Arin lantas mendatangi dokter lain di poli anak. Ia bertanya di mana keberadaan Mala.

Dokter Indi berkata jika Mala tinggal di sebuah panti asuhan Kristen yang tidak jauh dari rumah sakit.

Arin dan Caya bergegas pergi ke sana. Namun, Arin berhenti melangkah ketika melihat siapa yang ia temui di lorong.

Arin menatap Evans begitu sebaliknya.
Caya yang menatap mereka heran, dia bertanya-tanya apa yang terjadi pada dua orang itu. Di titik ini Caya sama sekali tak mengetahui apapun tentang Arin dan Evans dan tentang siapa yang menyelamatkan Arin malam kemarin.

Arin perlu mengucapkan terimakasih pada Evans tetapi ia merasa sedikit canggung untuk memulai sebuah kata.

Caya mengehela nafas, ini seperti panggilan otak pandai untuk dirinya, dia mengerti mereka berdua mungkin butuh ruang.
"Kamu tetaplah di sini, aku dan Olivia yang pergi ke sana"
Kata Caya kemudian langsung pergi tanpa ada ucapan persetujuan dari Arin.
Keadaan ini malah membuat Arin jadi kikuk.

"Kau akan pulang?"
Tanya Arin melihat Riko datang membawa plastik obat.

"Ya"
Jawab Evans tetapi sempat Arin mendapati mata Evans terlihat tak fokus.

Evans kemudian berjalan perlahan. Terlihat dari caranya berjalan ada rasa sakit yang masih ditahan.
Riko yang melihat Arin menyapanya dengan sedikit menundukkan kepalanya. Pria yang sopan.

'ya? Jawaban macam apa itu'
Arin malah sedikit kesal pada jawaban yang sangat singkat itu.

Pada hari itu, Arin juga harus datang ke kantor kepolisian sebagai korban. Karena ini Ardi langsung menjadi terdakwa atas kasus penyerangan. Ia sudah masuk penjara dengan hukuman 1 tahun penjara saja. Sial, orang tua Ardi ternyata memiliki beberapa kekuatan juga. Dan dia hanya menanggung denda pembiayaan rumah sakit milik Arin.

Itu tak cukup, tentu saja Arin ingin Ardi di hukum untuk kejahatan lain yang telah ia lakukan.

.

.

.

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang