21...

85 11 0
                                    

Evans berjalan dengan rapih ia menyemprotkan parfum beraroma segar berfikir Arin akan menyukai wanginya.

Ia benar-benar serius untuk mengajak Arin makan malam. Mungkin saja dengan merayunya wanita itu akan berubah pikiran.

Hanya sepatunya yang membuat suara di sepanjang lorong menuju kamar Arin. Ia memencet bel. Ia berharap Arin juga mempersiapkan dirinya dengan baik.

Pintu terbuka, seperti dugaannya Arin lebih cantik hari ini. Aroma yang begitu unik menguar dari tubuhnya. Baju warna hitam yang wanita itu pakai begitu elegan.
Hak tinggi yang ia pilih juga sangat baik. Dari sini wanita itu terlihat lebih tinggi.

"Selamat malam"
Sapa Evans, suaranya yang sangat berat dan tatapan yang tak pernah teralihkan. Mereka seperti sangat cocok kali ini.

"Selamat malam"
Arin sedikit kaku, ia tidak benar-benar tahu tata cara untuk bersikap formal pada pria atau bersikap anggun. Seharusnya ia meminta saran Caya terlebih dahulu bukan?

Evan menawarkan lengan kanannya agar Arin berjalan beriringan dengan dirinya.
Arin berjalan mendekat dan meraih lengan Evans dengan lembut.
Mereka berjalan menuju lift bersama.

Arin tidak perlu khawatir Caya menangkap basah dirinya bersama Evans karena wanita itu sedang ada pekerjaan lain. Membantu orang berjodoh lebih jelasnya. Dia di sibukkan dengan hal itu beberapa hari ini.

Candilac yang mengkilap sudah terparkir di depan lobi.
Evans membukakan pintu untuk Arin dan yakin jika wanita itu heran pada kendaraannya. Evans sudah menduganya.

Mereka berangkat. Arin sekarang penasaran akan di bawa kemana mereka. Restoran apa yang Evans siapakan. Apakah dia memboking seluruh tempat untuk dirinya, mungkinkah itu terjadi. Apakah Evans memang begitu kaya?

"Ngomong-ngomong kau bukan hanya cantik malam ini"

Arin menoleh menatap Evans.
Pria itu ikut menoleh dan berkata.

"Kau juga menawan."

Jantungnya terasa aneh. Arin perlu memeriksa apakah di dalam sana ada semut yang sedang bergerombol karena yang ia rasakan adalah perasaan yang campur aduk. Padahal tadinya ia menolak sangat keras. Namun karena ia sudah di sini atas kesadaran diri, Arin tak bisa mengelak.

"Kita mungkin akan pulang larut malam. Mungkin kau tidak keberatan untuk itu Miss?"

"Baik"
Jawabannya.

Biasanya Arin tak mau berada dalam satu mobil meskipun sedang berkencan. Tetapi sepertinya Evans pengecualian.

Arin tengah memikirkan obrolan agar suasana tidak senyap begini.

"Mengapa kau berhenti menjadi perawat?"
Evans yang bertanya duluan.

Arin menebak Evans mencari tahu tentang dirinya sampai hal terkecil sekecil apapun.

"Aku tak berhenti, hanya saja aku lebih mementingkan pekerjaan ini. Aku akan tua nanti, aku harus punya pekerjaan yang terjamin untuk ku dan anak-anakku"

"Tapi kau akan punya suami? Kenapa tak menyerahkan semuanya pada suamimu?"
Pertanyaan Evans masuk akal.

"Rumah tangga tidak akan selalu harmonis Mr. Evans. Pasti akan ada sedikit perkelahian dan salah paham. Dan ketika itu terjadi aku tak akan kesulitan meskipun aku sedang marah pada suamiku"

Evans memutar matanya. Yang tadinya menatap Arin ia langsung menyilangkan kedua tangannya.

"Aku tidak suka sifat itu"

Arin tersenyum aneh. Apa yang Evans maksud?
"Sifat seperti apa?"

"Aku suka jika wanita bergantung padaku, kau wanita yang terlalu mandiri Arin"
Meskipun pikiran Arin sangat brilian tapi itu tidak bisa memuaskan ego pria yang senang di andalkan.

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang