16:memulai bisnis

116 10 4
                                    


Arin melakukan pembicaraan dengan sangat singkat tadi. Ia tak perduli pada ancaman atau gertakan dari Darwin.

Ia datang mengunjungi Mala di sebuah ruangan. Ada Caya dan psikiater wanita bernama Riana di sana. Mereka sudah berusaha melakukan beberapa terapi dalam dua hari ini. Mereka hanya ingin tahu pengakuan dari mulut Mala tentang hal yang terjadi.

"Gimana, kamu udah ketemu sama orang tua Ardi. Lancar?"
Tanya Caya, mereka memperhatikan Mala yang sedang tersibukan pada peralatan menulis di hadapannya. Melihat betapa trauma gadis kecil itu, meminta bantuan adalah sebuah tindakan berani yang sama sekali tak Arin sangka dari Mala.

"Buruk, tua bangka itu gampang tersulut emosi"

"Tapi aku yakin kamu adalah orang yang menyulut emosinya kan?"
Arin pandai menumpahkan minyak dan menghidupkan api dengan mudah hingga lawan bicaranya bisa terledakan oleh emosi.

"Hai Mala"
Sapa Arin dengan senyuman.

Mala menoleh padanya. Senyuman ia suguhkan sebelum menjawab ucapan Arin.
"Ha ha haalo"
Ia berusaha menekan gagapnya agar ucapan yang benar keluar dari mulutnya.

"Kita masih butuh beberapa waktu untuk membuat dirinya siap menjadi saksi. Aku sudah menghubungi kepala forensik dan mereka berkata jika sedang melakukan autopsi pada beberapa mayat anak kecil yang meninggal beberapa bulan ini"

Dengan hasil autopsi tersebut, mereka akan tahu kepastian anak-anak itu meninggal. Adakah campur tangan Ardi dalam penyebab kematian mereka. Itu yang sedang Arin nantikan.

"Untuk sekarang kita bisa menarik sedikit nafas lega"
Ujar Caya lantas mengajak Arin untuk keluar.

Mereka akan pulang ke apartemen sedikit beristirahat.

"Miss Dewanti"

"Aaa!!"
Caya yang malah terkejut melihat Riko ada di parkiran menghampiri mereka.

"Riko?"
Arin tidak mengetahui mengapa anak buah Evans ada di sini.

"Kau?" Caya lantas menoleh ke kanan dan kiri mencari Evans, wanita itu tentu tahu siapa Riko. "Dimana pria menjengkelkan itu?" Tanyanya bermaksud Evans.

"Maaf Miss, kami perlu bicara dengan Miss Arin"

Caya langsung mengerutkan keningnya tanda tidak suka. Tak ada satupun dari hal yang berhubungan dengan Evans yang Caya suka.

"Mengapa kamu terlihat terlibat pada preman itu mami?"
Tanya Caya pada Arin sedikit berbisik. Tapi bukan Caya kalau dia berbisik tanpa terdengar.

"Anda jangan khawatir, Miss Arin akan aman bersama ku"

Caya masih menatap ragu. Tapi ia menghela nafas setelahnya.

"Baiklah lah, kabarin aku kalo kamu udah selesai. Aku mau pergi ke kantor"
Kata Caya berjalan sambil mencangking tasnya. Tapi ia berbalik mendekat lagi untuk berkata.
"Jangan lupa bawa Olivia, dan jika kau macam-macam akan ku patahkan tulang mu berserta tulang bos mu" Di saat terkahir ia tetap mengancam Riko.

Akhirnya Arin dan Riko bersama Olivia menggunakan mobil yang di bawa Riko.
Mereka terus berkendara tanpa Arin tahu akan pergi ke mana.

Sempat terpikir mengapa ia begitu bodoh mau menerima tawaran Riko tanpa curiga atas sesuatu. Tapi kini Arin sedang memikirkan bagaimana caranya untuk mengucapkan terimakasih pada Evans.

Mereka sampai, di sebuah rumah modern berlantai dua. Tempat yang cukup besar. Arin menebak apakah ia di bawa ke kediaman milik Evans.

Saat mobil berhenti anak buah Evans yang lain membukakan pintu dan Riko siap membawa Arin menuju Evans.

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang