41...

86 6 2
                                    


Ini harinya, ia tak pernah membayangkan akan sampai di sini. Berada di tingkat tertinggi keputusannya.

Bertemu dengan pria yang akan menjadi suaminya dengan cara yang aneh.
Menikah dan menjalin hubungan dengan orang itu sampai tua nanti.

Siapkah ia? Bahkan ia belum bisa memastikan cinta di dalam hati nya, apakah ini semua akan berakhir baik?
Dadanya berdegup kencang, nafasnya jadi sulit dan tangannya dingin juga basah.
Meskipun Arin sudah menghela nafas berkali-kali ia tetap tidak bisa mengenyahkan rasa gugup yang sudah menguasai setengah tubuhnya.

Ia cantik, sangat cantik. Ia hanya sedang menunggu seseorang menjemput dan membawanya keluar.

Ini pukul 9 pagi dan akad sedang berlangsung di luar sana.

"Hai pengantin, cheese"

Arin menoleh ketika mendengar suara Caya di belakang dan bersamaan dengan jepretan kamera membuat ia mengedipkan mata.

Ia harap ekpresinya baik di foto mendadak itu.

"Uweeeee, cantik banget sih teman kuuu"
Kata Caya senang setelah memeriksa hasilnya.

Arin terkekeh.

"Ayo"
Kata Caya ia mengulurkan tangan, wanita itu yang menjemputnya mengartikan semuanya sudah selesai.

Setiap langkahnya bergerak, saat itu juga jantungnya makin. Berdebar kencang.
Aroma bunga yang tercium segar. Ruang terbuka dengan dekorasi putih yang terlihat anggun dan lembut.

Mereka membuat sebuah acara private di atas sebuah gedung hotel. Karena tamu yang tidak banyak datang acara ini terasa semakin mengena di hatinya.
Ia bisa dengan jelas menyaksikan orang-orang terdekatnya, berekspresi ketika ia sudah berganti status.

Para anak buah Evans terlihat berdiri dengan senyuman. Riko terlihat tampan di sana, mereka memiliki sifat kekeluargaan yang bisa ia rasakan.

Semakin jelas Arin melihat Evans, pria itu sangat tampan. Jasnya juga mendukung itu, ia duduk dengan tatapan yang tak berpaling.

Ia tidak tersenyum, ia terpesona dengan mata hijau yang berkilau seperti air di telaga saat siang yang cerah.

Pipinya terasa merona, ia malu, ia takut, ia merasa senang, tapi ia juga merasa sedih. Semuanya bercampur, Arin tak bisa menghentikan perasaan itu.

Ia duduk dengan baik di depan dua orang.
Ayahnya yang menatapnya dengan senyuman menggoda.
Ayahnya terlihat tampan dengan peci itu, jenggotnya tetap ada, setidaknya ayahnya tidak terlihat terlalu seram.

Ia menelan saliva sambil menghela nafas.

"Silahkan ditandatangani"

Penghulu mengajukan dua buku dan bulpen.
Ini terasa seperti mimpi, mimpi yang nyata.

Ini akibat perasaan campur aduk, bahkan saat tanda tangan, tangan Arin bergetar hebat sampai ia hampir lupa tanda tangannya sendiri.

"Hayo pengantin cewek deg degan ya. Iya lah suaminya guanntengg banget e"

Seluruh orang di sana tertawa, Caya terdengar tertawa paling keras. Tentu saja mereka bisa mendengar ucapan penghulu dengan jelas.

Evans spontan menoleh untuk melihat apa itu benar. Pria itu tersenyum tipis ketika melihat wajah Arin memerah, ia pikir itu bukan hanya karena make up. Karena Arin terlihat berusaha menyembunyikan wajahnya dengan tangan.

'Sial, aku malu'

Evans mengulurkan tangannya. Arin menatap sekilas dan meraih tangan tersebut.

Mereka berjabatan tangan dengan kaku. Kembali lagi gelak tawa yang membuat mereka kikuk.

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang