~"Bang" panggil Raina saat keduanya sudah keluar dari ruang konseling. Ia berjalan pelan bersama Reyhan.
Reyhan menoleh. Menunggu Raina mengucapkan kata selanjutnya.
"Jangan terlalu maksain ya. Kesehatan lo juga lebih penting." Ucap Raina kemudian. Ia menatap Reyhan dengan sendu.
Reyhan tersenyum tipis lalu mengangguk. "Tenang aja Rai."
Mereka berpisah di depan kelas Raina. Karena Raina harus masuk kekelasnya.
Reyhan menghela nafas lelah. Setiap hari menjadi semakin sulit untuknya. Ingin menyerah dan putus asa tapi tidak ada gunanya. Semua terasa tidak sesuai dengan apa yang Reyhan inginkan akhir-akhir ini.
Tidak ada yang mudah did unia ini, semuanya sangat sulit. Jika ingin yang mudah dan menyenangkan, maka harus berjuang dulu. Seperti Reyhan saat ini. Ia berjuang untuk bertahan hidup lebih lama lagi.
Mati itu pasti, tapi waktunya kapan, kita ngga akan tahu. Kita hanya perlu mempersiapkan diri saja.
Reyhan merapihkan seragam terlebih dahulu sebelum kembali masuk kekelas. Waktu istirahat telah dihabiskannya di ruang BK tadi. Tidak terbagi waktu untuk istirahat. Lihatlah, bahkan Ia dapat melihat guru yang berjalan kearah kelasnya.
Tanpa menunggu guru tersebut, Reyhan langsung masuk kekelas. Ia melihat semua temannya menatap kearahnya. Mereka penasaran apa yang terjadi. Terlebih lagi, Fendi memutuskan pulang untuk mengobati kakinya.
"Rey!" Tasa segera bangkit melihat Reyhan datang. Ia menatapnya khawatir.
Reyhan duduk di bangkunya, membiarkan semua murid berbisik mengenai kronologi cerita yang mereka tak tahu kebenarannya.
Haja pun menoleh kebelakang untuk melihat Reyhan. Ia yakin, Reyhan pasti akan bercerita dengan Tasa.
"Lo ngga di apa apain kan Rey?" Tasa membolak-balik tubuh Reyhan. Melihat apakah ada luka atau tidak.
"Gue ngga apa apa Hana." Jawab Reyhan menyingkirkan lembut tangan Tasa yang memegang lengannya.
"Adek lo ngapain temen gue?" Haja bertanya. Ia menatap Reyhan menunggu jawaban.
"Hampir mau dipatahin kakinya tapi ngga jadi. Soalnya Raina masih punya hati nurani." Jawab Reyhan dengan nada candaan. Ia tidak ingin semua orang melihat kesedihannya. Cukup dirinya dan Tuhan saja yang tahu.
"Gila! Sampek ngga bisa jalan gitu lo bilang masih punya hati nurani! Psycho" Haja berdesis ngeri. Ia tak habis pikir dengan jalan pikir dua kakak beradik ini. Tapi anehnya dua-duanya adalah anak emas SMA Kencana. Bahkan mereka gratis sekolah disini, karena beasiswa.
"Yang salah siapa Rey? Raina atau Fendi?"
Reyhan tak ingin menjawab pertanyaan ini. Dan syukurlah guru yang Ia lihat tadi sudah sampai di kelas. Jadilah pertanyaan Tasa ini mengambang, tidak ada yang membalas.
"Ada guru Han." Ucap Reyhan melihat kedepan.
"Selamat siang semuanya." Sapa guru itu. Beliau menaruh buku-bukunya di atas meja.
"Siang Pak!" Jawab serempak semua murid.
Tasa melirik kearah Reyhan yang fokus kedepan. Pertanyaan-pertanyaan tentang Reyhan berputar di kepalanya.
Tak hanya Reyhan yang ingin lebih dekat dengan Tasa, namun Tasa pun merasakan hal yang sama. Ia ingin lebih dekat dengan Reyhan.
Namun sejauh ini, Tasa rasa hanya Reyhan yang tahu sisi lain dari dirinya. Sedangkan Tasa? Ia masih belum mengetahui apa-apa tentang Reyhan. Entah itu sisi lain dari Reyhan, latar belakang, atau apapun itu. Tasa masih belum tahu semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope Not
Teen FictionTidak ada yang mudah didunia ini, semuanya sangat sulit. Jika ingin yang mudah dan menyenangkan, maka kamu harus berjuang dulu. -Sun, Jun 26-22 -6.36 End -Mon, Oct 24-22 -8.10