~"PERGI DARI SINI!! GARA GARA LO! KELUARGA GUE HANCUR!"
Semua orang tersentak dengan teriakan Raina disertai tangisan. Reyhan segera berlari menghampiri. Nanda, Ia hanya menunduk.
"Rai, tenang." Reyhan mengambil kunci yang tadi dilempar, kemudian membuka pintu. Dan bisa. Reyhan menuntun Raina masuk kedalam.
"Rai, Rey, maafin mama nak. Mama tahu mama salah.kita bicarakan baik-baik ya." Nanda memohon. Ia membuntuti Reyhan dan Raina masuk rumah.
"GUE BILANG PERGI! JANGAN SEKALIPUN LO INJAK RUMAH GUE!" Raina kembali berteriak. Ia menunjuk Nanda. Ia tak peduli setelah ini Nanda akan stres akibat dirinya. Dan membahayakan bayi dalam kandungannya, Raina tak peduli.
"Rai, udah ya. Udah. Biar gue yang urus, sekarang lo kekamar." Reyhan berusaha menenangkan Raina yang selalu ingin memukul Nanda.
Raina menurut. Ia melangkah ke kamarnya. Air matanya Ia usap kasar dengan lengan.
Reyhan memantau Raina sampai masuk kedalam kamar, setelah itu pergi menemui Nanda yang masih setia berdiri di pintu.
Wanita itu patuh pada Raina yang tidak membiarkannya masuk. Ia diam di pintu sambil mengusap air matanya.
"Keluar." Reyhan berujar dingin. Ia melewati Nanda begitu saja. Lalu Ia duduk di kursi teras rumah.
Nanda lagi-lagi menurut. Ia duduk di kursi sebelahnya. Masih dengan isak tangis, Ia menunduk dalam. "Maafin Mama."
Reyhan diam. Ia sebenarnya tidak tega. Air mata itu sukses meluluhkan hatinya. Sungguh, bagaimanapun juga wanita inilah yang melahirkan Raina dan Ia sendiri. Tapi rasa benci itu, masih terlampau kental untuk memaafkan.
"Rey, kamu maafin mama kan?" Nanda mengangkat wajahnya, menatap Reyhan di sampingnya. Namun yang ditatap, enggan menatap balik. Reyhan setia memandang pelataran rumah di depannya.
"Apa untung saya memaafkan anda?" Ucap Reyhan dingin. Laki-laki itu mencoba tenang dalam perasaan yang bergejolak tak karuan.
Nanda diam. Ia juga tak tahu.
"Apa anda akan kembali menjadi ibu kami? Atau akan tetap pergi?" Kini Reyhan menatap Nanda yang bingung. Nanda tetap diam ditanyai seperti itu.
Reyhan terkekeh, tidak ada perubahan kan. Ia yakin mamanya ini tidak mungkin mau hidup dalam kemiskinan. Reyhan tahu, kenapa wanita ini kembali. Pasti karena wanita ini telah melihat perubahan ekonomi keluarga Bamz yang berbeda jauh dari yang terakhir wanita ini tinggalkan.
"Setidaknya, kalo mama mati duluan kalian sudah menerima permintaan maaf mama Rey. Mama ngga mau mati dengan perasaan bersalah." Ucap Nanda memelas.
Reyhan terkekeh. Mamanya membicarakan mati. "Emang anda sakit apa?"
Nanda diam lagi. Ia selalu kehilangan jawaban saat berbicara dengan Reyhan. Anak ini sangat pandai untuk bersilat lidah.
"Mau taruhan?" Reyhan menatap Nanda dingin.
Nanda hanya diam. Anak sulungnya ini terlalu mengerikan. Ia sempat meremehkannya tadi.
"Kalo saya yang mati duluan. Anda harus kembali ke keluarga ini dan merawat Raina." Ucapnya tegas. Ia kemudian berdiri bersiap meninggalkan Nanda.
Nanda diam mematung. Kenapa Reyhan sangat berani membuat taruhan seperti itu. Apa Reyhan sedang sakit keras? Atau hanya emosi belaka?
Rasanya Nanda terlalu takut dengan taruhan Reyhan.
~
"Sini lo!" Raina yang sedang berjalan riang bersama Jaya ditarik paksa meninggalkan keramaian.
Jaya yang akan mengejar ditahan oleh teman-teman Fendi. Ia terpaksa harus melawan dua orang yang menahan tangannya.
Brak!
Raina jatuh. Ia dibanting begitu saja oleh Fendi. Fendi menatap tajam kearahnya. Dengan seringai yang terlihat menyeramkan.
Kini diujung kooridor sekolah. Yang memang jarang ada guru atau murid yang lewat. Bahkan cctv saja tidak tembus sampai sini. Dua orang ini saling menghadap penuh emosi.
Raina bangkit. Ia menatap tajam Fendi. Dikira Ia takut dengan wajah Fendi yang dibuat seseram mungkin, Raina tidak akan pernah takut.
"Maksut lo apa?" Tanya Raina dengan berani. Ia mendongakkan wajahnya menantang.
Fendi semakin tersulut dengan Raina yang berani menatapnya.
"Gara-gara lo! Nyokap gue masuk rumah sakit karena stres! Dia ceritain semua kejadian kemarin sore. Lo marah-marah ngga jelas, sampai buat nyokap gue drop." Bentak Fendi tepat di depan muka Raina.
Raina terkekeh. Ternyara efeknya lumayan parah. Tapi tak apa, Nanda memang pantas mendapatkan itu.
Setelah kemarin merenungkan diri di kamar, Raina ingin bangkit dari rasa keterpurukannya tentang Nanda. Ia ingin melawan semua ini tanpa air mata. Ia sudah lelah merasakan luka lama.
"Gue peringatin sama lo! Kalo sampek nyokap gue kenapa-kenapa, gue bunuh lo!" Fendi berucap tajam. "Untung lo cewek!"
Raina tertawa kencang. Ancamannya sungguh basi baginya. Ia sampai bertepuk tangan saking lucunya.
"Apa lo bilang? Untung gue cewek?" Raina menghentikan tawanya. Ia kembali menatap tajam Fendi yang geram. "Dengan cara lo bilang kayak gitu, itu ngga buat lo jadi keren. Atau kalo lo mukul cewek beneran, sama aja, ngga ada keren-kerennya sama sekali. Malah bikin lo cupu, pengecut!"
Fendi sukses geram. Ia beneran akan memukul Raina.
"Rai!" Jaya berlari mendekat. Wajahnya sedikit mengeluarkan darah. Raina yakin pasti Fendi menyuruh orang untuk memukul Jaya.
"Dan cowok, itu pecundang kalo keroyokan." Raina tertawa sinis. Kemudian Ia mundur beberapa langkah. Diam-diam mengambil ancang-ancang. Lalu..
"ARGH!" Rip junior Fendi.
Jaya terdiam. Ia melihat itu, dan ikut merasakan betapa ngilunya. Ia jadi tidak berani berbuat masalah dengan Raina.
"Harusnya gini! Ngga banyak ancaman. Langsung bertindak. Menye-menye lo, kayak cewek aja." Raina terkekeh. Ia kemudian meninggalkan Fendi yang berguling di lantai, merasakan sakit yang luar biasa.
"Sialan!"
"Gue keren kan Jay!" Raina menghampiri Jaya dengan tatapan binar bahagia. Ia merangkul pundak Jaya yang lebih tinggi darinya.
"Oh tentu, siapa dulu." Jaya tersenyum Ia senang Raina sudah kembali bahagia.
"Raina!" Jawab keduanya bersamaan.
~
Reyhan diam duduk di kursi rumah sakit yang dingin. Ia menyandarkan punggungnya di sana. Matanya menatap kosong di depannya. Tangannya bertaut tak tenang.
Semua kata dokter terus terngiang di kepalanya seperti kaset rusak. Ia memejamkan matanya, kemudian menyandarkan kepala nya. Belasan nafas lelah pun kembali terdengar.
"Penyakit kamu sudah stadium 5 Rey, jangan bolos cuci darah lagi ya, minum obatnya juga yang teratur."
Reyhan habis melakukan cuci darah tadi, dan sekalian mengecek seberapa parah penyakitnya kini. Ternyata memang separah itu.
Itu membuatnya takut. Ia takut tidak bisa bertahan lebih lama lagi.
~
San, Jun 12-22
6.15
-after kesiangan
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope Not
Teen FictionTidak ada yang mudah didunia ini, semuanya sangat sulit. Jika ingin yang mudah dan menyenangkan, maka kamu harus berjuang dulu. -Sun, Jun 26-22 -6.36 End -Mon, Oct 24-22 -8.10