Bab 28

0 0 0
                                    


~

"Papa." Satu nama itu membuat keduanya tegang. Mereka belum memberi tahu Papa tentang penyakit Reyhan. Itu karena Reyhan tidak ingin membuat Papanya kepikiran.

"G-gue keluar sebentar ya bang!" Raina lantas berlari keluar ruangan guna mengangkat vidio call Papa.

Reyhan menghela nafas lelah. Akan sampai kapan Ia seperti ini? Berpura-pura baik-baik saja. Jujur Ia sudah sangat lelah, dan ingin penderitaannya berakhir. Selalu berharap bahwa, ketika Ia bangun esok pagi semuanya akan baik-baik saja.

Tapi apa yang Ia dapat? Ketika Ia memejamkan mata Ia malah takut tidak bisa membukanya lagi. Ketika Ia bangun dipagi hari, Ia bersyukur walaupun penderitaan itu tidak hilang begitu saja tapi Ia bisa membuka matanya lagi. Jujur, Ia sangat ingin menyerah. Apalagi disaat seperti ini.

Ia terlihat lemah dengan mesin yang mencuci darahnya. Raina yang sehat dan merawatnya menjadi rasa tak enak tersendiri dihatinya. Seharusnya Ia melindungi keluarga satu-satunya yang Ia punya. Tapi, Ia bersyukur karena yang sakit ialah dirinya.

Dan baru-baru ini ada orang baru yang memasuki hidupnya. Yang berharap lebih terhadapnya. Berharap Ia akan bisa hidup lama bersamanya.

Reyhan mentertawakan kehidupannya sendiri. Sangat miris dan sadis jika dibayangkan. Apalagi Ia yang menjalankan.

Raina kembali setelah mengakhiri telepon dengan Papa. Wajahnya terlihat lesu. Ia duduk dikursi tadi.

"Udah? Papa bilang apa?" Tanya Reyhan lirih. Ia menangkap wajah murung adiknya.

"Papa nanyain lo mulu kalo telfon. Soalnya lo jarang kelihatan waktu Papa telfon. Katanya dia kangen. Tapi.." Raina menggantungkan ucapannya. Ia menarik tangan Reyhan untuk digenggam, kemudian menaruh kepalanya di bangkar Reyhan. Lalu tangan Reyhan Ia taruh diatas kepalanya.

Reyhan yang peka, mengusap pelan kepala Raina.

"Katanya Papa dapat tugas penting. Dan ngga bisa ditinggal sedikit pun, jadi kemungkinan besar Papa bakal susah dihubungi." Curhat Raina. Air matanya hampir saja turun.

Reyhan menatapnya sendu. Ia akan lebih sedih jika melihat Raina seperti ini. "Ngga apa apa. Papa kayak gitu juga demi kita." Ucapnya dengan senyum tulus.

"Lo masih lama?" Raina masih memanyunkan bibir nya.

Reyhan mengangguk. "Bosen ya? Pulang duluan aja ngga apa apa."

Raina menggeleng. Ia malah memejamkan mata. "Gue mau seharian ini sama lo aja."

"Tumben banget. Efek samping berantem sama Jaya, jadi kayak gini." Reyhan terkekeh pelan. Ia ikut memejamkan mata setelah memperhatikan wajah tenang adiknya.

Raina tak peduli dikatai Reyhan seperti itu. Selain membenarkan, ada maksut lain dari itu. Sebenarnya Ia tulus menunggui Reyhan, karena Ia sangat jarang menemani Reyhan HD.

Menjalankan proses cuci darah itu sampai ber jam-jam. Dan bayangkan saja Reyhan lebih sering cuci darah sendiri. Bisa dibayangkan seberapa bosan Ia. Maka dari itu Raina merasa iba.

~

"Selamat siang tante." Sapa Tasa ramah. Ia menyalami Nanda yang duduk didepan rumah.

"Siang." Balas Nanda ramah. Ia berdiri menyambut Fendi dan Tasa yang baru saja datang. "Ayo masuk. Tante udah siapin makanan buat kalian berdua."

Mata Tasa berbinar mendengarnya. Ia sangat suka dengan Nanda. Rasanya seperti Ia berbicara dengan ibunya sendiri.

Fendi memandang keduanya senang. Ia senang karena keduanya terlihat sangat akrab.

Hope NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang