Bab 11

1 0 0
                                    


~

"Rai turun." Ucap Jaya lembut sambil mengusap pelan tangan Raina yang memeluknya erat.

Mereka sudah sampai di depan rumah Raina.

Raina kemudian menurut, Ia perlahan turun dari motor Jaya. Ia menunduk, tangannya masih bergetar. Ia yakin wajahnya pasti terlihat pucat karena khawatir.

Jaya melepaskan helm yang Raina pakai. Lalu Jaya mengangkat dagu Raina melihat wajah Raina yang pucat. Sontak saja matanya melotot, Jaya panik.

"Rai, lo kenapa?" Tanya Jaya, reflek Ia menarik Raina dalam pelukan. Ia mengusap lembut rambut panjang Raina.

Mendapat perlakuan seperti itu, malah membuat air mata Raina keluar. Ia menangis kencang di pelukan Jaya. Tangannya membalas pelukan Jaya erat. Seluruh tubuhnya bergetar.

Jaya semakin khawatir. Jantungnya berdetak kencang melihat Raina kacau seperti ini. Ini kali pertama Ia melihat Raina kacau seperti ini.

"Ada gue Rai, tenang aja." Ucap Jaya menenangkan. Ia masih setia mengusap rambut Raina.

"Mama.." Ucap Raina disela tangisnya. Ketika berucap itu, dadanya semakin sesak. Tangisnya kian pilu. Membuat Jaya mati-matian menahan, agar tidak ikut menangis bersama.

Alis Jaya berkerut. Ia tidak paham arah bicara Raina.

Raina melepas pelukannya. Wajahnya yang kacau menjadi pemandangan pertama yang dilihat oleh Jaya. Badannya masih bergetar dan masih tetap menangis.

"O-orang yang mau lo tabrak tadi-" Raina berusaha keras untuk berbicara. Mencoba menghalau rasa sesak didada. "Itu Mama. Mama yang udah ngehindarin gue selama tujuh tahun."

Tangis Raina kembali pecah. Jaya segera memeluknya kembali. Raina menurut, Ia menelungkupkan wajah kacaunya pada dada Jaya. Ia menggenggam erat almamater Jaya.

Jaya terkejut bukan main ketika mengetahui satu fakta itu. Ia memang tahu, di rumah Raina tidak ada kedua orang tuanya. Namun saat Jaya tanya waktu itu, Raina menjawab bahwa Papanya kerja dan Mamanya pergi. Ia tidak bilang yang sebenarnya.

"Gue gamau ketemu dia Jay." Ucap Raina masih di pelukan Jaya. Jaya tak berkomentar. Ia tahu Rainanya sedang butuh didengar.

"Tapi dilain sisi gue juga kangen sama dia. Pengen dia pulang trus peluk gue kayak lo gini." Ucap Raina dengan sesenggukan. Jaya semakin mengeratkan pelukanya. Betapa sakitnya Raina berbicara, dapat Jaya rasakan.

"Lo, jangan ninggalin gue kaya mama ya Jay." Ucap Raina, Ia menatap Jaya di pelukan Jaya. Jaya menoleh lembut. Ia mengusap air mata Raina lembut, kemudian mengangguk.

"Ngga akan Rai. Kecuali maut yang memisahkan kita." Ucap Jaya lembut. Berusaha membuat Raina tenang.

Tapi sayangnya kata-kata Jaya salah. Raina malah semakin kencang menangis. Jaya lantas panik. "Jangan bilang soal maut Jay. Lo lupa kalo abang gue sakit keras?"

Jaya tersentak. Satu fakta ini Jaya sudah tahu lama. Karena waktu itu tidak sengaja bertemu Raina menangis di kooridor rumah sakit. Saat pertama kalinya Reyhan didiagnosis mengidap penyakit gagal ginjal. Dan harus menjalankan cuci darah dua kali dalam seminggu.

"Eng-engga kok Rai. Ya, kita bakalan selamanya bersama. Asal lo mau jadi pacar gue!" Ucap Jaya diiringi senyuman jahil.

Raina memukul Jaya, kemudian Ia melepaskan pelukannya. Ia menatap Jaya dalam. Dengan mata sembab itu Raina mencari keyakinan dalam mata Jaya.

"Gue ngga bisa kalo sekarang." Ucap Raina. Ia menunduk. Sudah lama Ia sadar jika Jaya ingin hubungan lebih dari teman. Namun, Raina selalu mencegahnya.

"Kenapa?" tanya Jaya. Untuk yang kesekian kali Ia ditolak.

"Lo jangan salah paham. Bukan berarti gue nolak lo Jay, dan bukan berarti gue gamau jadi pacar lo." Ucap Raina. Ia mendongak menatap Jaya yang kecewa.

"Perasaan kita ini masih labil. Gue gamau kalo kita pacaran, nanti kita putus dan ga akrab lagi kayak gini. Kita ngga tahu kedepannya seperti apa. Dan pacaran udah jelas dilarang sama agama!" Jelas Raina. Tangisnya sudah berhenti. Kini pikirannya sedikit teralihkan karena Jaya yang mengubah topik. 

Jaya diam mematung. Ternyata ini alasan Raina selalu menolaknya. Bukan karena Raina tidak suka dengannya, hanya saja Raina ingin hubungan keduanya berjalan baik, dengan waktu yang lama.

"Dan yang udah sama-sama dewasa juga bisa pisah, kayak orang tua gue Jay." Air mata kembali meluncur bebas. Raina segera mengusapnya kasar. Cukup sedihnya! Ia tidak ingin berlarut dalam kesedihan.

Jaya tersentak. Ia sangat merasa bersalah. Niat awal tadi, Ia hanya bercanda. Tidak menyangka Raina akan menganggapnya serius.

"Maaf." Ucap Jaya menyesal. Ia telah banyak berburuk sangka dengan Raina. Entah mengapa, Ia menjadi salut pada Raina. 

Hidup tanpa seorang Ibu. Tapi Ia bisa menjadi kebanggaan sekolah, padahal disisi lain Ia dipaksa dewasa oleh keadaan. Syukurnya, Papanya tidak pernah telat mengirim uang untuk biaya hidup Raina dan Reyhan.

"Sekarang gue mau masuk." Raina mundur beberapa langkah.

Jaya mengangguk. Ia melambai pada Raina yang mulai berbalik, setelah membalas lambaiannya.

Langit sore berubah gelap.

Persis seperti cerita hidup. Semua yang indah, pasti akan pergi pada waktunya. Begitu juga sebaliknya.

~

Tok tok tok

Pintu terketuk. Reyhan segera berdiri membukakan pintu. Namun Stevani menahannya. Ia ingin memberi kejutan pada Raina. Seperti Ia memberi kejutan pada Reyhan tadi.

Saat pulang sekolah, Reyhan dikejutkan dengan Stevani yang duduk manis dimeja makan dengan banyak makanan yang dimasak olehnya sendiri.

Kebetulan Tasa ikut mampir tadi, jadi Ia ikut makan siang bersama Reyhan dan Stevani. Setelah selesai makan, Reyhan segera mengantar Tasa pulang.

"Assalamualaikum" lirih Raina, ketika melihat Stevani yang membukakan pintu. Ia terkejut juga senang.

Stevani tersenyum, sebelum menyadari wajah Raina yang kacau dan sembab.

"Rai? Kamu habis nangis?" Ucap Stevani khawatir. Raina yang tertangkap basah kemudian memeluk Stevani erat. Ia kembali menangis dipelukan Stevani.

Reyhan yang mendengarnya dari dalam kemudian keluar. Pemandangan yang Ia lihat adalah Raina yang menangis dipelukan Stevani.

Stevani menoleh pada Reyhan yang bertanya-tanya. Kemudian menggeleng, sebab tak tahu apa yang menyebabkan Raina menangis.

"Kenapa Rai?" Tanya Reyhan lembut. Ia mengusap punggung Raina yang bergetar.

"Mama.." Satu kata yang keluar membuat dua orang yang sedang menangkan Raina itu terkejut. Mereka saling menatap satu sama lain.

~

Sun, Jun 5-22
6.08
-ketika saya masih mengantuk dipagi hari

Hope NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang