Bab 26

0 0 0
                                    


~

Pagi telah tiba. Sang fajar sudah memunculkan sinarnya. Melalui celah-celah jendela, cahayanya masuk. Hawa dingin yang timbul ketika embun itu masih berjatuhan, pasti membuat siapa saja enggan beranjak dari tempat ternyaman.

Namun berbeda dengan laki-laki berusia 17 tahun ini. Ia sudah memasak sarapan. Ia melakukannya sendiri. Enggan membangunkan sang adik.

Ia lakukan itu agar hubungannya dengan sang adik membaik. Ia tidak suka bermarahan lama-lama. Karena Ia sadar, mereka ini hanya hidup berdua, jadi tidak lah nyaman jika bertengkar terlalu lama.

Keringat dingin terus bercucuran, dengan badan yang kedinginan. Telapak tangan dan kaki yang tak terlindungi apapun, sangat dingin. Sedangkan tubuhnya sudah memakai jaket tebal. Namun tetap saja rasa dingin itu masih dominan.

Ia masih mengepel lantai ruang tamu, dan rasa nyeri itu pun datang menyerangnya. Reflek, tangan kanan memegang letak kesakitannya. Ia sampai membungkuk merasakan nyeri itu. Kemudian Ia memilih duduk di sofa. Ia harus istirahat sejenak, tidak boleh memaksakan tubuhnya yang semakin lemah.

Harusnya, sesuai anjuran dokter, Ia harus di rawat inap. Tapi Reyhan tidak mau, sebab sebentar lagi akan ada ujian kelulusan.

Tangan kanan itu masih setia memegang pinggangnya. Matanya terpejam dan bersandar pada sandaran sofa. Ia mencoba mengatur nafasnya yang memburu.

Suara langkah kaki membuatnya membuka mata dengan tergesa. Ia segera menoleh ke belakang. Kemudian senyum nya terbit kala melihat sang adik sedang turun tangga.

"Rai!" Ujarnya senang.

Ia segera berdiri, dan melupakan rasa nyeri itu. Alhasil Ia kembali terduduk dan meringis pelan. Kemudian, Ia berdiri lagi tapi dengan sangat pelan. Ia juga berjalan pelan.

Raina hanya melirik sekilas melihat sang abang yang kesakitan. Ia mengambil piring dan memakan makanan yang telah disiapkan Reyhan dimeja, tanpa memperdulikan Reyhan yang menahan ringisan.

"Enak Rai?" Tanya Reyhan penuh harap. Pandangan nya menatap Raina penuh binar. Ia harap adiknya akan memperhatikan.

Raina tak menjawab Ia fokus pada makanannya. Seolah tak menganggap Reyhan ada.

Pandangan binar Reyhan berganti sendu kala Raina tak memperhatikannya. Ia tersenyum kecut. Ini semua salahnya.

Dengan tangan sedikit bergetar, Ia mengambil makanannya. Kemudian memakan nya sendiri. Walaupun setelah ditelan nasi itu ingin keluar lagi.

Sungguh, akhir-akhir ini Ia merasa dirinya semakin lemah. Gampang sekali kelelahan. Bahkan jadwal HD nya diperbanyak menjadi 3x seminggu. Tadinya hanya 2x seminggu.

Raina dengan cepat menghabiskan makanannya. Setelah itu, Ia membersihkan piring nya sendiri. Kemudian mengambil pel yang masih berada di ruang tamu. Dan melanjutkan pekerjaan Reyhan yang sempat tertunda.

Reyhan hanya diam menyaksikan. Ia tidak berani melarang. Toh Ia juga sedang fokus makan agar benar-benar tertelan.

Baru beberapa suap saja, Reyhan sudah tidak sanggup. Ia segera mengambil minumnya, meneguknya hingga habis. Kemudian Ia berdiri, mengisi kembali gelas tersebut.

"Rai, gue kekamar dulu ya. Mau minum obat." Ucapnya keras dengan sedikit getaran pada suaranya. Seperti orang yang panik.

Apapun yang ada, Reyhan jadikan alat bantu untuk menopang tubuh nya. Hingga sampai kamarnya, Ia segera duduk di sisi ranjang nya. Kemudian meletakkan segelas air minum yang Ia bawa diatas nakas.

Setelah itu Reyhan meminum obatnya dan segera mengatur nafasnya yang terasa sesak. Ia menatap bingkai foto yang selalu Ia pajang di atas nakas samping ranjang nya.

Hope NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang