Bab 38

1 0 0
                                    


~

"Udah sore Rai. Lo ngga di cariin abang lo?" Tanya Jaya setelah melihat langit orange.

Rai mengangguk. Ia kemudian membereskan barangnya. "Iya, nih udah dichat, pulang yuk."

Akhirnya dua sejoli itu pulang membelah jalanan sore yang ramai. Langit orange menemani tangan Raina yang melingkar manis diperut Jaya. Kepalanya pun Ia taruh pada punggung Jaya yang lebar.

"Rai!" Panggil Jaya dengan keras.

"Apa?!" Jawab Raina tak kalah keras.

"Jangan selalu merasa terbebani masalah sendiri ya! Lo bisa bagi itu ke gue!" Ucap Jaya tiba-tiba.

Raina segera menegakkan badannya. Ia menatap punggung Jaya heran. Bagaiman cowok itu tahu, kalau hubungannya dengan abangnya sedang tidak baik-baik saja. Padahal Ia tidak menceritakannya pada siapapun.

"Kenapa lo ngomong gitu?" Tanya Raina. Badannya mendekat, ingin mendengar jawabannya dengan jelas.

"Ngga apa-apa. Cuma ngerasa ada yang lo sembunyiin aja dari gue." Jawab Jaya. Matanya melirik Raina dari spion. Ia bisa melihat raut Raina yang terkejut. Ternyata dugaannya benar.

"Jangan kaget! Gue bisa tahu itu dari mata lo!" Lanjut Jaya lagi. Kali ini lebih keras.

Raina hanya bungkam. Ia tidak membantah. Semua yang Jaya katakan adalah benar. Ia memilih, menyandarkan kepalanya lagi ke punggung kokoh itu.

~

Akhirnya Raina sampai rumah. Setelah percakapan tadi, sudah tidak ada lagi percakapan lain. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing. Ditemani senja yang perlahan menghilang.

Raina melihat kamar Reyhan yang sedikit terbuka. Ragu, Ia melangkahkan kakinya kekamar Reyhan. Ia mengintip sebentar.

Begitu tahu apa yang sedang terjadi di dalam, Ia segera masuk kedalam kamar. Abangnya itu, terlihat kesusahan mencari tisu untuk menyeka darah yang keluar dari hidungnya.

Reyhan sudah mencari laci-laci di sekitar meja belajarnya. Namun tisu tidak ditemukan. Ia berdiri dan berbalik. Sudah ada Raina yang berjalan mendekat kearahnya.

Raina membuka tasnya dan mengeluarkan tisu yang masih baru itu, lalu membukannya dan memberikannya pada Reyhan.

Reyhan diam, tak langsung menerima. Ia masih terlalu terkejut dengan keberadaan adiknya ke kamarnya.

"Bang! Ini! Cepetan itu darahnya sampe bibir!" Teriakan Raina menyadarkannya.

Reyhan segera menerima tisu tersebut dan menyeka darahnya, yang sudah mencapai bibir. Ia kemudian kembali duduk pada meja belajarnya. Dengan cepat menyembunyikan buku hitam polos kedalam laci.

"Baru pulang Rai? Kok ngga salam?" Tanya Reyhan. Ia tidak berani menatap Raina. Setiap melihat mata itu, kata-kata tajam itu kembali berputar dalam otaknya, layaknya kaset rusak.

Raina tak menjawab. Ia hanya menyaksikan Reyhan yang sibuk menyeka darahnya yang tak kunjung berhenti.

"Lo, berhenti pengobatan ya?" Tanya Raina. Dengan nada datar. Dan tatapan datar.

Reyhan menghentikan pergerakannya. Ia menatap Raina kemudian. Tangannya masih setia menyeka darahnya.

"Maaf." Ucapnya. Ia kembali menunduk.

Raina menghela nafas kasar. Ia berdecak. "Kenapa?"

"Gue cuma mau fokus ujian Rai. Untuk seminggu ini, gue ngga mau cuci darah dulu. Gue pengen benar-benar fokus ujian dulu. Maaf."

Hope NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang