Bab 35

9 0 0
                                    


~

Pagi-pagi sekali Reyhan sudah bangun. Tepatnya jam 3 pagi. Semalam Ia ketiduran dengan posisi duduk di meja belajar, alhasil badannya sakit semua sekarang. Kepalanya masih sedikit berdenyut, namun sesaknya sudah sepenuhnya hilang. Alarm di nakas samping tempat tidur nya berbunyi.

Reyhan bangkit akan mematikan. Namun baru saja Ia berdiri badannya terhuyung dan kembali duduk. Ia memejamkan mata sambil memijat pelipisnya. Selalu seperti ini ketika di pagi hari. Badannya terasa sangat lemas.

Ia mencoba lagi berdiri perlahan, dan mematikan alarm. Setelah itu, Ia berjalan keluar kamar. Ia memaksakan tubuhnya untuk terus bergerak dan mengerjakan semua pekerjaan rumah.

Walaupun beberapa kali Ia harus duduk dan menghalau semua rasa sakitnya, Reyhan tetap memaksakan tubuhnya. Ia enggan bertemu Raina pagi ini. Kata-kata menyakitkan semalam masih melekat jelas di hati.

Namun tak di pungkiri, Ia menyetujui pendapat Raina. Dirinya terlalu drama.

Setelah selesai Reyhan bergegas kekamar, mempersiapkan diri akan berangkat sekolah. Ia bersiap sangat cepat, takut-takut Raina keburu bangun.

Saat semuanya sudah siap, termasuk bekal makan siang dan sarapannya, Reyhan meletakkan kunci motornya pada meja makan. Ia pikir, mengendarai motor sendiri dalam kondisinya yang tidak stabil akan membahayakan. Jadi Ia lebih memilih naik angkutan umum saja.

~

"Ibunya Sabrina meninggal."

Deg

Kalimat itu menyambut Reyhan saat pertama kali menginjakkan kaki di kelas. Ia mematung begitu saja di depan kelas. Ia melihat bangku Sabrina, kosong.

Tiba-tiba saja rasa takut yang teramat menyerangnya. Jantungnya berdetak kencang. Keringat dingin membasahi. Badannya hampir saja jatuh, jika tangannya tidak sigap menahan, berpegang pada tembok.

Lagi, berita itu datang menakutinya.

Dengan kaki yang lemas, Ia berusaha berjalan kembali ke luar gerbang sekolah.

Brak

Tubuhnya jatuh begitu saja. Tasa berdiri menjulang di depannya bersama Fendi di sampingnya.

Raut wajah panik bercampur pucat itu tidak bisa Ia sembunyikan. Dengan cepat Reyhan segera berdiri lagi, dan melanjutkan langkah lunglainya.

"Kenapa tuh bocah, pucet banget wajahnya." Gerutu Fendi menatap kepergian Reyhan.

Tasa memperhatikannya dalam diam. Jujur dalam lubuk hatinya yang paling dalam Ia khawatir. Namun rasa kecewa dan marah itu masih melekat pada hati, dan menjadi paling dominan sekarang. Jadi Ia tidak peduli dengan apa yang terjadi kepada Reyhan.

Reyhan telah sampai di halte bus. Menunggu bus lewat, entah kemana tujuannya, yang penting Ia ingin menenangkan diri dulu.

Dering ponsel membuyarkan lamunannya. Ia merogoh ponsel pada saku celana nya. Dan termenung saat membaca nama seseorang yang menelpon. Sabrina.

Dengan tangan yang bergetar Ia mengangkat telepon itu. Lalu ditempelkannya pada telinga. Suara isak tangis terdengar jelas. Membuat siapa saja pilu mendengarnya.

"Ha-halo Rey." Ucap serak seorang gadis di sebrang sana.

Reyhan tidak bisa menahan diri. Ia ikut merasakan sedih nya gadis itu. Matanya langsung berkaca-kaca tatkala mendengar suara serak gadis itu.

"Ma-mama Rey. Mama ngga ada." Tangis yang tertahan pecah seketika. Lalu telepon mati begitu saja.

Reyhan menurunkannya lengannya. Ia menatap kosong kedepan. Sungguh, Ia teramat takut sekarang.

Hope NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang