~"Bang!" Raina masuk kedalam kamar Reyhan tanpa mengetuk. Itu sudah biasa Ia lakukan. Ia menghampiri Reyhan yang duduk melamun di balkon kamar.
"Bang!" Panggil Raina sekali lagi. Sebab Reyhan masih asik dengan dunianya.
"Eh Rai, kenapa?" Tanya Reyhan. Ia baru menyadari keberadaan Raina.
"Lo mikirin apa si? Serius amat, sampe gue dateng lo ngga sadar." Raina duduk di satu kursi yang kosong. Ia menatap gelapnya langit malam. Tidak ada bintang dan bulan malam ini. Hanya hitam gelap.
"Mikirin Hana." Jawab Reyhan dengan senyum lebar. Ia melirik Raina yang menatapnya jengah.
"Ew, bucin." Raina bergidik. Ia menyandarkan punggungnya, kemudian menghela nafas lelah. "Gue tadi berantem lagi sama Fendi."
Reyhan menoleh cepat. Ia terkejut dengan apa yang dikatakan Raina. "Tapi lo ngga apa apa kan?"
Raina menatap Reyhan malas. Abangnya ini terlalu berlebihan. "Engga, gue ngga apa-apa."
Reyhan menghela nafas lega. "Syukur deh."
"Dia ngadu ke Fendi. Jadi gue dimarahin habis-habissan. Katanya dia masuk rumah sakit karena stres gara-gara gue." Raina bercerita. Ia menundukkan kepala. Jauh di lubuk hatinya Ia merasa bersalah pada Nanda. Tapi sekali lagi, amarah sudah mendarah daging, sulit untuk dihilangkan.
Reyhan diam. Ia mendengar cerita Raina. Ia jadi kepikiran dengan taruhan yang Ia buat bersama Nanda. Mungkinkah gara-gara itu juga? Ia pun sama hal nya seperti Raina. Merasa bersalah. Tapi hanya sedikit, sangat sedikit, sampai tidak berasa apa apa.
"Bukan salah lo. Anggap aja dia memang pantas dapet itu. Karena udah menelantarkan kita." Reyhan mengusap rambut dan punggung Raina.
Raina mendongak menatap Reyhan, lalu mengangguk. Usapan sang abang sangat menenangkan.
Setelah Bamz mengatakan Ia menceraikan Nanda, dan Nanda keluar dari rumah ini, tak lama setelahnya Bamz juga keluar dari rumah ini, untuk bekerja. Jadilah dua bersaudara ini dititipkan ke adik Bamz. Yang saat itu Stevani berumur 20 tahun.
Stevani merawat mereka hingga mereka masuk SMP. Sampai saat sudah masuk SMA, Reyhan dan Raina memutuskan untuk pisah dengan Stevani. Stevani sangat berharga dalam hidup dua bersaudara ini.
Dan mereka sudah dari kecil saling menguatkan seperti ini. Selalu bercerita apapun tanpa ditutup-tutupi. Tidak ada rahasia di antara mereka.
"Oh ya, tadi habis ketemu dokter gimana?" Tanya Raina mengalihkan pembicaraan, setelah beberapa saat keduanya hening.
Reyhan tersentak, Ia gugup. Ia takut mengabarkan kondisinya pada Raina.
"Bang." Raina memanggil. Ia melihat gelagat Reyhan yang kebingungan.
"T-tambah parah Rai. Udah masuk stadium 5." Ucap Reyhan sedikit gugup. Ia sudah terlanjur bilang. Ia terkekeh setelah mengatakan itu. Matanya tak berani menatap Raina.
Raina membelakkan matanya. Secara otomatis matanya berkaca mendengar itu. Pasti sangat berat menjadi Reyhan, batin Raina.
"Tapi tenang aja, gue bakal rajin berobat sama jaga kesehatan gue kok. Lo jangan kawatir ya. Sekarang udah malem, udah jamnya tidur. Tadi udah sholat Isya kan?" Reyhan berkata panjang, mengalihkan topik yang tidak Ia suka. Ia bangkit kemudian menghampiri Raina.
"Rai."
"Udah. Yaudah gue balik kekamar." Raina pergi begitu saja. Ia tidak mau Reyhan melihat matanya yang sudah tidak tahan akan mengeluarkan air.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope Not
Fiksi RemajaTidak ada yang mudah didunia ini, semuanya sangat sulit. Jika ingin yang mudah dan menyenangkan, maka kamu harus berjuang dulu. -Sun, Jun 26-22 -6.36 End -Mon, Oct 24-22 -8.10