15. Alone

62.9K 5.1K 272
                                    

Audy menatap dua porsi seblak ia terima dari karyawan di gerai seblak tadi, lalu beralih menatapku bingung karena ia hanya memesan satu porsi untuk Lunar.

Aku menyerahkan helm pada Audy, yang disambut wanita itu dan segera memakainya.

Aku pun menyambut kantung belanja berisi seblak dari tangan Audy, untuk ditaruh pada bagian depan motor.

"Kok beli dua, buat siapa?" tanya Audy, membahas tentang seblak yang aku pesan. "Lunar cuma nitip satu doang kok."

Aku menatap kondisi jalan yang sudah mulai lengang, lalu menoleh sekilas pada Audy.

"Jalannya udah sepi, nanti pegangan ya, takut jatoh."

Audy tak membahasnya lagi, ia juga tak menyahuti ucapanku.

"Lo nggak mau buka jaket dan ngasih ke gue, biar gue gak kedinginan?" Audy bersuara kembali.

Aku meliriknya melalui spion, lalu melihatnya tengah bersedekap dengan kedua tangannya yang menyilang di depan dada.

"Nggak sih, kan gue udah nyuruh lo peluk gue aja, biar sekalian menghangatkan."

Audy berdecak sebal.

Aku yang hanya meledeknya pun melepaskan jaketku dan memberikan padanya.

"Tetep pegangan, gue gak mau lo terbang pas nanti ngebut."

"Ya, jangan ngebut-ngebut dong!"

"Masa jalanan sepi gak di gas sih, Dy! Gue nggak sesabar itu kalo bawa kendaraan."

"Duh, lo sengaja kan bawa motor!" Audy masih mengeluh, tapi tak lagi membantah ucapanku.

Tangannya mulai menggapai pinggangku, hingga melingkar di sana. Tubuh Audy pun kini terasa mulai merapatkan diri dengan punggungku.

Motorku pun keluar dari area ruko tempat gerai seblak di kawasan Tebet ini.

Lalu lintas pukul sembilan malam ini sudah tergolong lancar, dibandingkan saat jam pulang kerja tadi. Meski masih banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalan-jalan utama, tapi tidak sampai membuat kemacetan panjang seperti tadi.

Angin malam terasa menusuk kulitku secara langsung, yang hanya menggunakan kaos lengan pendek, karena jaketku sudah digunakan oleh Audy.

Di perjalanan ini lah, aku mulai memikirkan apa yang baru saja aku lakukan. Aku kembali bertindak impulsif dengan memutuskan untuk pergi ke rumah Nadira, padahal beberapa detik sebelumnya aku enggan untuk berkendara ke kawasan sana.

Apa yang sedang aku lakukan?

Jika hanya sekadar mengantarkan seblak, karena Nadira menginginkannya, mungkin itu tidak masalah.

Jika memang hanya memenuhi apa yang diinginkan sahabatku, mungkin itu tidak masalah.

Namun, di sini, aku yang tau pasti, apa yang menjadi masalahnya. Perasaanku pada Nadira yang membuat situasi ini menjadi salah. Nadira sudah menikah, aku tidak bisa seperti ini. Bahkan jika sesuatu dalam diriku memaksa ingin bergerak, pada akhirnya aku akan tetap terluka saat berhadapan dengan Nadira yang mungkin saja akan keluar rumah dengan suaminya.

"Emang rumah Nadira dimana?"

"Hm?"

Pertanyaan Audy sukses membuyarkan pikiranku yang tengah terhanyut saat sedang berkendara.

"Rumah Nadira dimana?" Audy mengulang pertanyaannya.

"Emang kenapa?" Aku balik bertanya.

"Seblak yang satu lagi, buat dia, kan? Terus ini mau sekalian lo anter."

My Gorgeous Sissy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang