14. Getting Closer

69K 5K 401
                                    

Aku menyodorkan helm pada Audy, yang disambut oleh wanita itu meski tampak kebingungan.

Audy menoleh ke samping motor yang terparkir bersisian dengan mobilku, seraya mempertanyakan mengapa aku memilih untuk naik motor.

"Mobil lo belum di servis?" tanya Audy. "Naik mobil gue aja," lanjutnya sebelum aku menjawab.

Aku menggeleng.

"Macet banget, Dy. Masih jam delapan juga, masih rame orang pulang kerja."

"Duh, baju gue tipis. Lo nggak bilang-bilang mau naik motor."

"Mau ambil jaket dulu?" Aku menawarkan sebelum kami berangkat.

Audy berpikir sebentar, lalu menggeleng.

"Nggak usah deh, masih macet, lo nggak bisa ngebut juga."

Aku pun segera naik ke atas motor, diikuti Audy yang naik ke jok di belakangku.

Motor yang aku kendarai ini mulai berjalan menyusuri area komplek, hingga keluar sampai di jalan raya dan menyatu dengan banyak kendaraan lainnya.

Sesuai dengan ucapanku tadi, jalanan masih macet oleh berbagai jenis kendaraan. Baik roda dua, tiga, atau bahkan lebih. Setidaknya, dengan menggunakan motor kami bisa menyelip di antara mobil yang tidak bergerak.

"Mau beli seblak di mana?" tanya Audy seraya memajukan wajahnya, agar suaranya dapat terdengar olehku.

"Gue sih taunya di jalan depan ada deretan ruko kuliner gitu. Tapi kalo lo ada tempat yang lebih recommended, ke tempat yang lo mau aja."

"Dari sini ke Tebet, nggak terlalu jauh, ya?" Audy balik bertanya.

"Nggak sih, cuma agak macet aja, paling nanti berasa jauh."

"Yaudah, ke Tebet aja."

Aku mengangguk, mengikuti ucapannya.

Aku melirik kaca spion untuk melihat Audy yang duduk di belakangku. Ia tampak duduk tegak, tanpa berniat untuk berpegangan pada pinggangku. Jika Audy merasa bahwa kemacetan ini membuatnya aman menggunakan baju tipis seperti itu, hingga angin malam tidak terlalu terasa. Audy luput bahwa sepulang dari kami makan seblak nanti, jalanan sudah mulai lenggang.

Aku sangat menantikan, apakah Audy akan membiarkan bulu kuduknya berdiri karena kedinginan, atau akan merapatkan tubuhnya padaku.

***

"Lo bilang mau makan seblak, kok malah pesen nasi goreng?"

Audy memprotes pesananku, saat kami masih berdiri di depan meja kasir untuk memesan makanan.

Tentu saja aku tidak bersungguh-sungguh ingin makan seblak. Meski aku tidak membenci makanan tersebut dan masih mampu memakannya – dengan efek samping perutku akan sakit sampai besok – aku jelas memilih untuk menyelamatkan perutku.

Yang terpenting 'kan, aku sudah berhasil mengajak Audy makan keluar agar kami bisa semakin akrab.

"Ya, pengin aja pas lihat gambar nasi goreng," sahutku mencari aman.

"Mbak, ini jadi pesenannya seblak tulang, sama nasi goreng?" tanya petugas kasir itu memastikan, saat Audy malah memilih mendebatkan pesananku.

"Iya, jadi," ucapku mengonfirmasi pesanan tersebut.

Kami pun mencari tempat duduk yang kosong untuk makan di sini.

Audy masih menatapku tidak terima, karena merasa dibohongi dengan ucapanku yang tadi berkata ingin makan seblak. Kali ini ia menatapku curiga.

My Gorgeous Sissy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang