ARSAL
Wajah Audy semakin pucat, seiring keringat yang membanjiri tubuhnya. Napasnya semakin tidak beraturan, rintihan kesakitan tak luput keluar dari bibirnya, sementara tangannya semakin mengeratkan genggamannya padaku.
"Sebentar lagi, Sayang. Sebentar lagi kita sampai."
Tanganku terus mengusap wajahnya, berusaha untuk menyalurkan energi dan berharap bisa memberinya kekuatan untuk bisa bertahan sampai kami tiba di rumah sakit.
"Sakit ... sakit ... banget ... aku nggak kuat, Sal. Aku nggak kuat."
Aku mengeratkan pelukanku di tubuhnya, lalu menciumi keningnya. "Aku di sini, kamu nggak akan kenapa-napa, anak kita nggak akan kenapa-napa. Aku janji, please ... please ... please, Dy. Aku mohon, kamu bertahan ya, Sayang."
Audy menggeleng lemah, yang membuatku semakin panik dan kalap untuk berteriak pada Pak Arman.
"Pak! Bisa lebih cepat nggak?"
"Ini sudah kecepatan tinggi, Mas. Kalo lebih ngebut lagi bahaya."
Jantungku turut berdegup kencang, dengan tubuh tak kalah gemetar melihat kondisi Audy saat ini. Tubuh Audy terasa semakin lemah saat bersandar di tubuhku, yang membuatku semakin panik dan tak kuasa ikut menangis.
"Dy, kita belum honeymoon, kan? Kamu mau ke mana? Katanya kemarin kamu mau ke Thailand? Atau mau naik kapal pesiar? Atau kita nonton Coachella, ya? Atau nanti artisnya kita bawa lagi ke rumah, ya?"
Audy tersenyum getir sambil menatapku dengan pandangannya yang sayu.
"Aku tau, kamu nggak selingkuh," kata Audy, dengan suaranya yang semakin terdengar lemah.
Sejujurnya, aku masih tidak paham apa yang mendasarinya untuk berpikir bahwa aku selingkuh? Namun, aku enggan untuk membahas masalah itu, dan memilih fokus pada kondisi Audy saat ini.
"Aku nggak mungkin selingkuh dari kamu. Aku pernah bilang, aku pengin terus sama kamu seumur hidup, kan? I really need you, remember?"
"Kamu bilang itu pas di Bali?"
Aku mengangguk, mengingat moment kami saat berlibur hanya berdua saja di Bali dan menghabiskan banyak hal bersama. Hari-hari itu terasa sangat indah, hingga membuatku ingin terus menjalani hari yang indah itu dengan terus bersama Audy.
"Kita nggak nikah karena kamu hamil. Aku bahkan udah ngajak kamu nikah waktu itu."
Air mata Audy justu semakin mengalir, tapi tenaganya tampak semakin melemah hingga ia tak sanggup untuk mengatakan apa pun lagi.
Ac di dalam mobil sudah menyala dengan maksimal, tapi keringat dinginku turut tak henti mengucur lantaran panik dengan kondisi Audy.
Tanganku kembali mengambil tisyu yang tadi aku pinta dari dashboard mobil, lalu mengusap wajah Audy yang juga semakin berkeringat.
Paint tolerantku mungkin sangat rendah, tapi melihat wajah Audy yang sangat kesakitan, kini rasanya aku rela menanggungnya jika bisa dibagi agar ia tidak kesakitan sendirian.
"Aku nggak mau anak kita kenapa-napa. Aku nggak pernah mau dia kenapa-napa. Maafin aku pernah ngomong kayak gitu...." Suara Audy yang semakin lemah kembali terdengar, yang seketika aku sanggah.
"Dia nggak akan kenapa-napa..." tenggorokanku tercekat untuk beberapa saat, melihat darah segar yang kembali mengalir di sela-sela kaki Audy. Namun, aku buru-buru melanjutkan dengan yakin. "Dia pasti kuat ... kayak kamu. Kita pernah bahas kan, nanti dia akan jadi ketua genk di sekolahnya karena kuat dan galak kayak kamu. Tapi karena anaknya asik—"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Gorgeous Sissy
Romance**CERITA MASIH LENGKAP** Audy membenci Arsal, si anak orang kaya berengsek yang pernah tidur dengannya, lalu muncul dengan wajah tak berdosa seraya menggandeng pacarnya yang ternyata adalah musuh Audy. Saat Audy ingin memusnahkan sosok Arsal dari p...