ARSAL
Mood Audy belakangan ini dapat berubah secepat kilat.
Seperti angin yang berhembus dalam segala arah, aku yang menghadapi perubahan sifatnya yang semakin tak terprediksi semakin kewalahan.
Banyak hal spele yang sering dipermasalahkan, membuat masalah yang seharusnya tidak pernah ada justru bisa menjadi masalah besar di mata Audy. Sebisa mungkin aku berusaha untuk sabar menghadapinya, memahami bahwa perubahan sifatnya ini semata karena bawaan kehamilannya.
Pertemuan kami dengan Nadira tempo hari, tentu tidak berakhir baik. Audy enggan berbicara sepanjang perjalanan dari kontrol kandungannya hari itu, lalu kembali baik dengan sendirinya dalam waktu beberapa jam.
Pukul delapan malam, aku baru tiba di rumah setelah melewati kemacetan di sepanjang jalan Gatsu yang selalu padat merayap setiap harinya. Jika tidak ingat bahwa kini ada Audy yang menunggu di rumah, mungkin aku akan memilih untuk menginap di hotel saja atau setidaknya merebahkan diri di sana sambil menunggu kemacetan ini mereda.
Namun, sejak pukul tiga sore, Audy sudah mengirimkan pesan dan bertanya padaku.
Audy : Sal, nanti pulang jam berapa?
Arsal : Nggak tau, Sayang. Hari ini ada meeting mendadak, karena ada regulasi baru dari pemerintah yang lumayan berdampak buat operasional hotel nih
Audy : Trus pulangnya malem banget, nggak?
Arsal : Aku usahain, jam 7 udah pulang ya
Arsal : Kamu mau nitip sesuatu?
Audy : Iyaaaa, nanti tolong sekalian beliin ya pas jalan pulang
Audy : Pengin sate
Arsal : Oke. Can't wait to kiss you
Audy : 😘😘😘😘
Pernikahanku dengan Audy tetap terasa menyenangkan. Perasaan saat mengetahui bahwa ada sosok yang menungguku selepas bekerja seharian, rasanya masih tak dapat diungkapkan oleh kata-kata.
Aku dapat melihat Audy yang kini tengah berdiri di belakang kitchen set dengan menggunakan apron menggemaskan dengan warna cream dan motif kotak-kotak. Barisan bahan-bahan masakan yang sudah tersedia di atas meja, tangannya kin tampak menekan layar tablet yang tengah menampilkan video tutorial memasak dari kanal streaming video.
Aku berjalan menghampiri istriku yang super produktif ini.
Audy masih tetap bekerja seperti biasanya, pekerjaan yang bisa ia lakukan dari rumah. Audy tampak menikmati pekerjaannya yang menurutnya tidak terlalu berat dan sempat membahasnya juga beberapa minggu sebelum kami menikah.
"Aku nggak mau berhenti kerja ya, meski aku udah bisa bayangin harta kamu nggak akan habis sampai tujuh turunan, tapi aku butuh menyuapi ego independent womanku ini agar bisa ngebantah kalo dituduh kerjaannya cuma ngabisin duit mertua kayak Nia Ramadhani."
Ucapan Audy yang terkadang berlebihan setiap kali mendeksripsikan kondisi finansialku justru terdengar menggemaskan.
"Lagi masak apa, Sayang?" Aku memeluknya dari belakang, lalu membenamkan kepalaku di bahunya.
Audy menghentikan gerakan tangannya yang semula tengah menumis daging cincang dan bawang bombay, lalu kepalanya bergerak untuk menoleh ke arahku.
"Aku kok nggak denger kamu dateng?"
Audy tidak menjawab pertanyaanku, ia memilih untuk membalikkan tubuhnya dan mengalungkan tangannya ke leherku. Kakinya berjinjit pelan, seiring dengan tangannya yang menarik wajahku untuk mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Gorgeous Sissy
Romance**CERITA MASIH LENGKAP** Audy membenci Arsal, si anak orang kaya berengsek yang pernah tidur dengannya, lalu muncul dengan wajah tak berdosa seraya menggandeng pacarnya yang ternyata adalah musuh Audy. Saat Audy ingin memusnahkan sosok Arsal dari p...