Arsal
Tanah kuburan ini sudah kering sejak belasan tahun lalu. Jeda waktu yang perlahan membuatku terbiasa menjalani hidup tanpa kehadiran Mama. Meski sejatinya terbiasa tidak pernah mengikis besarnya rongga yang diciptakan atas kepergiannya.
Aku menaruh bunga lily putih di depan nisan bertuliskan nama lengkap Mama. Kelopak bunga yang masih sedikit basah karena semprotan air itu terlihat kontras dengan keringnya tanah ini.
Aku meremat tanganku. Kapan terakhir kali makam ini dikunjungi? Sebulan yang lalu, tiga bulan yang lalu? Aku tersenyum miris saat jawaban dari pertanyaan itu ada di kepalaku sendiri.
Tentu saja setahun lalu. Kunjunganku bersama Nadira, satu bulan sebelum dia mengabari bahwa dia akan menikah. Kunjungan rutin yang ternyata belum sanggup melatihku untuk siap mengunjungi tempat ini sendirian, tanpa adanya penopang.
Sebelum bersama Nadira, mengunjungi makam Mama sama saja membuka duka dan kemarahan akan kematian Mama. Aku benci tempat ini. Aku bahkan enggan mengunjungi makam Mama lagi setelah pemakaman dilakukan. Masih selalu terbayang bagaimana tanah-tanah ini menimbun tubuh Mama di dalamnya.
Sampai akhirnya Nadira hadir. Memberiku keberanian untuk menginjakkan kaki ke tempat ini. Ia menjadi penopang saat aku bahkan tidak yakin mampu untuk membalut lagi luka yang tercipta karena kehilangan sosok Mama.
Dan setelah dia tidak bersamaku lagi, selama itu pula aku tidak berkunjung ke tempat ini. Hingga hari ini.
Saat Papa tadi mengirimkan lokasi acara hari ini, yang sesungguhnya tidak ingin aku turuti, satu-satunya yang terpikir olehku saat itu adalah lokasinya yang tidak jauh dari makam Mama. Dan entah kenapa keinginan untuk berada di dekat satu-satunya jejak terakhir yang ditinggalkan Mama, kali ini lebih besar dibandingkan rasa yang lain.
Tidak peduli sepulang dari sini aku akan mengulang luka atas kematian Mama. Apakah aku belum merelakan kematiannya? Memangnya aku bisa apa kalau memilih tidak rela? Menghidupkannya kembali? Kerelaan menjadi satu-satunya pilihan yang ditempuh seseorang yang ditinggalkan untuk melanjutkan hidup. Meski dalam perjalanan itu selalu ada rongga kosong yang tidak akan pernah kembali utuh. Selama apapun itu, semuanya tidak akan pernah sama lagi. Akan selalu ada angan yang berandai jika sosok itu masih ada.
Dan jika Mama masih ada.... Saat-saat terberat itu mungkin bisa menjadi lebih ringan. Mama akan memelukku ketika seluruh dunia meninggalkanku.
Seperti saat dulu di sekolah, aku yang masih naif tak gentar untuk mengejar pengakuan orang-orang yang pernah aku sebut sahabat.
"Guys, hari ini mau ngerjain tugas Bahasa Inggris di rumah gue?"
Aku yang sudah diusir secara gamblang hingga terdampar di kursi sebelah Nadira, masih berusaha untuk membaur dengan teman-temanku yang sebelumnya.
Hal itu masih sering aku lakukan setiap hari, meski mereka selalu mencemooh kebangkrutan keluargaku yang sebenarnya tidak sebangkrut itu.
"Loh, rumah lo emang belum disita?" Bimo menyahut lebih dulu.
"Kenapa rumah gue harus disita?"
"Sori nih, Sal. Kita semua udah sama-sama tau kalo bokap lo koruptor dan udah divonis penjara juga."
"Bokap gue bukan koruptor!" Aku masih bersikeras menyanggah ucapannya.
Mereka bertiga — Bimo, Farhan, dan Deka — mentertawakanku.
Aku serius. Papa tidak korupsi. Aku sudah berkali-kali mengatakan bahwa Papa melakukan suap. Papa sama sekali tidak menggelapkan uang negara atau pun perusahaan!
"Rumah gue masih ada. Garafiant group juga masih berdiri. Nggak ada yang berubah cuma karena Papa dipenjara!"
"Nggak usah sok elite lagi deh, Sal. Mending lo belajar bareng Nadira sana, sekalian belajar cara apply beasiswa." Deka menepuk pundakku pelan, seolah memberikan saran yang sangat bijak.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Gorgeous Sissy
Romance**CERITA MASIH LENGKAP** Audy membenci Arsal, si anak orang kaya berengsek yang pernah tidur dengannya, lalu muncul dengan wajah tak berdosa seraya menggandeng pacarnya yang ternyata adalah musuh Audy. Saat Audy ingin memusnahkan sosok Arsal dari p...