AUDY
Aku membiarkan Arsal kembali beristirahat, setelah ia sempat tersadar beberapa menit yang lalu dan memohon agar tidak meninggalkannya sendirian.
Sosok Arsal yang biasa berdiri tegak sambil melontarkan kata-kata yang sering kali menyebalkan, kini tampak tergeletak lemah di atas ranjang rawatnya. Bahunya yang patah dibebat oleh perban dan gips untuk menopang lengannya. Pun dengan pelipisnya yang sempat menerima beberapa jahitan lantaran sempat bocor karena terbentur kemudi lumayan keras.
Selama ini, tanpa sadar aku sudah mendengarkan banyak cerita tentang kehidupan lelaki itu. Namun, aku tidak sampai berpikir bahwa segala hal yang terjadi dalam hidup Arsal, sangat berpengaruh terhadap kondisi jiwanya yang bisa dikatakan agak kacau.
Aku bukan sok mendiagnosa padahal tidak memiliki lisensi profesional. Ini hanya sekadar penilaianku saja saat menghubungkan berbagai kejadian yang selama ini aku dengar atau pun saksikan.
Arsal takut ditinggalkan.
Masa remajanya cukup kelam lantaran pernah ditinggalkan oleh banyak orang, hingga ia merasa menderita sendirian.
Kesendiriannya di saat-saat seperti ini, seolah memvalidasi bahwa Arsal kembali ditinggalkan oleh semua orang.
Aku membenci fakta bahwa ini lah penyebab Arsal begitu tergantung pada Nadira yang di masa lalu memiliki peran penting dalam hidupnya. Entah ketololan macam apa yang mereka jalani sebelum Nadira memtuskan menikah, sampai harus terjebak dalam situasi rumit seperti sekarang, yang malah menyiksa lelaki itu sekali lagi.
Sampai memutuskan untuk suicide, bukan perkara yang remeh. Dokter yang tadi menangani Arsal langsung memberikan rujukan agar Arsal menemui psikolog.
Aku pun menyetujuinya. Arsal memang membutuhkan bantuan profesional, bukan istri orang yang malah membuatnya bertindak semakin tidak waras.
Aku keluar dari kamar rawat untuk menemui teman-temanku yang masih menunggu di luar.
"Gimana keadaan Arsal, Dy?" Pertanyaan Marsha seketika menyambutku.
"Udah mendingan, tapi dia lagi istirahat."
"Kita belum boleh jengukin, ya?" tanya Lunar.
Aku mengangguk pelan.
"Kalian pulang aja dulu deh, pasti capek juga 'kan kita baru balik dari pulau," ucapku, menyadari situasi kami yang benar-benar baru menginjak daratan pasca menyebrangi lautan.
"Kamu nggak istirahat juga, Dy? Kakak kamu nggak ada yang nungguin?"
Aku menoleh pada Gibran yang rupanya masih berada di sini juga.
"Aku paling tidur di sini sambil nunggu Mamaku sampai, kayaknya sekarang Mama masih di pesawat."
"Aku temenin, ya?"
Aku langsung menggeleng.
"Nggak usah, justru kamu yang paling perlu istirahat. Kamu baru pulang dari business trip langsung ikut liburan."
"Iya, bener tuh. Jangan sampe lo ikutan dirawat juga dan malah ngerepotin Audy." Sean turut berkomentar, membela ucapanku.
"Yaudah, kita balik dulu deh. Nanti sore gue ke sini lagi. Lo perlu dibawain apa buat nginep di rumah sakit?" tawar Erlan.
"Gue temenin Audy di sini deh." Lunar tidak terdengar menawarkan, ia langsung menggandeng tanganku seolah keputusannya sudah bulat. "Nungguin orang sakit tuh nggak bisa sendirian. Nanti kalo lo perlu keluar buat beli makan atau cari sesuatu, pasti perlu backingan. I'm free dan nggak kecapekan sama sekali"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Gorgeous Sissy
Romansa**CERITA MASIH LENGKAP** Audy membenci Arsal, si anak orang kaya berengsek yang pernah tidur dengannya, lalu muncul dengan wajah tak berdosa seraya menggandeng pacarnya yang ternyata adalah musuh Audy. Saat Audy ingin memusnahkan sosok Arsal dari p...