19. Suffering Partner

63.4K 5.1K 692
                                    

Semua orang tampak begitu sibuk.

Lalu lalang orang-orang yang menggunakan pakaian warna hitam memenuhi setiap sudut area rumahku. Keluarga besar yang meliputi om, tante, sepupu, hingga para kerabat jauh terus datang silih berganti, dengan ekspresi sendu menghormati keluarga kami yang sedang berduka.

Deretan karangan bunga bertuliskan bela sungkawa dari berbagai instansi dan kerabat orang tuaku juga sudah berdatangan sejak tadi pagi, hingga karangan bunga tersebut memenuhi halaman rumahku sampai ke jalanan di depan gerbang.

Aku tidak mengerti apa fungsi karangan tersebut selain menimbulkan sampah di halaman rumah kami dan tidak sedikit pun mengobati rasa ketakutan dan kehilanganku.

Aku meringkuk di bawah tangga sendirian, menatap segala kesibukan di rumah ini lantaran Mama meninggal dunia.

Tubuh Mama terbaring kaku di dalam peti yang diletakkan di ruang tamu rumah ini. Mama pergi untuk selamanya, di saat Papa masih berada di dalam penjara karena kasus suap yang menjeratnya.

Aku sudah menangis sejak semalam, saat Mama dinyatakan meninggal dunia di rumah sakit karena serangan jantung.

Padahal, sebelumnya Mama baik-baik saja. Kami masih makan malam bersama dan membahas kegiatan apa yang akan dilakukan di akhir pekan ini, demi menghiburku yang masih sedih pasca hukuman yang diterima Papa.

Umurku masih 13 tahun, saat kejadian demi kejadian menimpa keluarga kami hingga menyisakanku sendirian. Takdir yang kelewat kejam ini seolah tiada henti berdatangan, meski aku nyaris tak sanggup menghadapinya.

Apa yang bisa aku lakukan sebagai seorang remaja yang belum sepenuhnya memahami cara kerja dunia yang kejam ini? Apa yang bisa aku lakukan seorang diri, di saat biasanya ada Mama yang menemani setiap proses pertumbuhanku, serta Papa yang menjaga kami?

"Arsal kemana? Ini teman-teman sekolahnya datang!"

Aku dapat mendengar suara Tante Winda yang mencari keberadaanku.

"Kayaknya ada di kamar, tapi pintunya di kunci. Biarin aja, dia pasti masih sedih kalo liat mamanya lagi."

Aku membiarkan mereka dengan asumsinya yang mengira aku tengah berada di kamar, lantaran keberadaanku saat ini memang tertutup oleh papan karangan bunga yang ada di bawah tangga. Meski ada sedikit celah yang aku gunakan untuk masuk ke tempat ini, tapi keberadaanku yang meringkuk ketakutan di sudut bawah tangga ini tak tertangkap mata mereka.

Dadaku kembali sesak saat membayangkan tubuh Mama nanti akan dikuburkan dalam tumpukan tanah, lalu ditinggalkan begitu saja.

Mengapa konsep kematian ini terasa mengerikan? Mengapa harus ada yang pergi dan di tinggalkan? Tidak bisakah aku ikut pergi bersama Mama, agar aku tidak perlu sendirian di sini?

"Arsal?"

Aku menangkap sebuah suara yang aku kenal memanggil namaku. Kepalaku yang semula menunduk dengan kedua tangan menutupi wajahku yang sudah basah dengan air mata, mendongak sejenak untuk melihat sosok yang memaksa masuk melalui celah yang ada di antara karangan bunga ini.

Tubuhku masih gemetar seiring dengan suara isakan yang tak mampu aku tahan, saat Nadira ikut berjongkok untuk menyamai posisiku.

Tangisku kembali pecah saat gadis itu menarikku ke dalam pelukannya.

"Aku tahu, kamu pasti takut banget sekarang. Aku paham, kamu pasti ngerasa dunia terlalu kejam, padahal umur kita masih terlalu muda buat ditinggal sendirian."

My Gorgeous Sissy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang