76. Trapped in Thought

20.6K 2.3K 109
                                    

AUDY

Charger laptopku mendadak rusak, tepat saat sisa daya laptopku kurang dari sepuluh persen.

Aku sudah mencobanya berkali-kali, berusaha untuk tetap bisa mengisi daya sampai setidaknya terisi 20 persen, agar aku bisa memiliki waktu untuk memesan charger baru dan diantarkan ke rumah.

Sebab, ini masih jam satu siang. Pekerjaanku masih menumpuk, ditambah lagi pekerjaanku ini merupakan tipe yang membuatku harus siap siaga kapan pun, lantaran sering tiba-tiba ditelpon tanpa pemberitahuan oleh orang-orang dari kantor pusat.

Kenapa sih, dari kemarin charger ini bermasalah terus? Dari mulai ketinggalan di kafe, sampai aku harus bertemu dengan Fando. Sekarang pakai acara rusak. Jika tahu ini charger mau rusak sekarang, harusnya aku tidak perlu mengambilnya dari kafe!

Tiba-tiba, aku langsung terpikirkan laptop Arsal, yang seingatku masih satu brand dengan laptop milikku.

Tanganku segera mengambil ponsel untuk menelpon Arsal dan menanyakan apakah ia membawa laptopnya ke kantor atau tidak. Sebab aku tidak tahu, itu laptop pribadinya atau laptop kantor.

"Kenapa, Sayang?" Suara Arsal langsung menyapaku, saat telepon baru tersambung.

"Sal, kamu pake macbook, kan? Itu kamu bawa ke kantor, nggak?"

"Punya aku ada di rumah, yang di kantor juga ada, tapi aku jarang bawa pulang laptop kantor sih. Emang kenapa, Dy?"

"Aku mau pinjem chargernya. Charger laptop aku rusak, sekarang batrenya sisanya 10%, takutnya tiba-tiba mati pas aku lagi ngerjain sesuatu."

"Oh, coba cari deh di kamar aku. Ada di laci sebelah ranjang deh kayaknya."

"Oke deh, aku cari dulu. Thanks, Sayang."

Aku langsung menutup telepon tanpa mendengar sahutan Arsal diujung sana, lalu berjalan cepat menuju kamar yang sebelumnya ditempati Arsal.

Tanpa membuang waktu, begitu sampai di kamar Arsal, aku langsung membuka laci yang disebutkan Arsal untuk mencari charger. Beruntung kondisi laci di kamar Arsal tergolong rapi, sehingga aku tidak kesulitan untuk menemukan charger laptopnya.

Saat mengambil charger, perhatian mataku tertuju pada sesuatu yang terlihat berada di tumpukan benda-benda yang ada di laci tersebut.

Beberapa bingkai foto berukuran mini yang cocok untuk ditaruh di atas meja, kini tampak berada di dalam laci dalam posisi terbalik.

Aku tak mampu untuk menampik rasa penasaranku, hingga tangan ini bergerak untuk mengambil salah satu bingkai yang ada di laci tersebut.

Dua sosok remaja yang menggunakan seragam SMA, seolah menatapku dari balik bingkai ini.

Aku berdecak pelan, saat mampu menebak siapa sosok yang berada di foto ini. Tentu tidak perlu membutuhkan kecerdasan tingkat tinggi untuk bisa menebaknya.

Tanganku kembali mengambil bingkai foto lainnya, masih penasaran foto apa saja yang ada di sana.

Semuanya foto Arsal dan Nadira dalam berbagai moment. Beberapa foto dapat aku kenali, lantaran pernah melihatnya terpajang di kamar ini saat kami masih menjadi saudara tiri.

Foto-foto ini sepertinya disingkirkan Arsal saat mereka resmi berpisah, tapi kenapa hanya dimasukkan ke dalam laci? Kenapa tidak dibuang atau dibakar sekalian!

Tanganku semakin bergerak untuk menggali lebih dalam lagi, benda apa saja yang berada di laci ini. Hingga aku menemukan album foto yang sepertinya satu buku penuh ini akan berisi foto-foto mereka.

Seolah ingin melatih amarah, aku tetap membukanya.

Foto demi foto yang menampilkan sosok Arsal dan Nadira dari usia remaja, hingga moment kelulusan mereka berdua yang sepertinya berasal dari kampus yang sama.

My Gorgeous Sissy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang