Bab 23

50.5K 5.5K 29
                                    

Duarrr!

Duarrr!

Sihir dengan kilatan petir terlihat mengarah kepada Zero, tetapi dengan gesit pria biru itu segera menghindari sihir pertama, kala sihir ke-dua nyaris mengenai nya, dengan segera Zero memantulkan sihir tersebut menggunakan pedang nya, sang pangeran yang menangkap pergerakan Zero lantas mengernyit.

"Kenapa kau bisa melakukan itu?" Tanya sang pangeran seraya menghela nafas panjang, sedari tadi latihan nya belum usai.

"Mudah saja." Balas Zero sembari mengangkat ke-dua bahu.

Untuk sejenak sang pangeran terdiam, kemudian membawa sepasang kakinya mendekati pohon tanpa dedaunan yang tidak tumbang akibat sihir gilanya, sang pangeran menyandarkan tubuh nya di depan dahan pohon sembari menikmati semilir angin yang membelai lembut wajah nya, Zero ikut menyusul kemudian duduk di ruang kiri si pangeran.

"Aku dengar yang mulia Lord telah memiliki seorang Mate." Ujar sang pangeran dengan sepasang mata mulai terpejam.

"Benar, apalagi gadis itu begitu cantik dan berbeda dengan yang lain." Balas Zero yang membuat sang pangeran membuka matanya kembali.

"Apa kau pernah melihatnya?"

"Tentu."

Sang pangeran terdiam seraya mengalihkan pandangan hingga menghadap lurus ke depan, menatap lekat pemandangan tanah retak dihadapan nya, bebatuan sudah hancur-lebur menjadi kerikil yang berserakan di atas permukaan tanah keras akibat sihir nya, tetapi ini tidak terlalu buruk semenjak dirinya mengenal Zero, perlahan dirinya bisa menetralkan sihir yang membelenggu.

Axell Davis Harrison, nama pangeran pertama kerajaan Herliconia yang mempunyai surai berwarna silver, wajahnya yang terkesan tampan kerap menjadi incaran para Lady di wilayah Herliconia, tidak lupa dirinya juga memiliki seorang adik yang beberapa hari lalu ikut bertarung melawan pemberontakan yang nyaris meratakan separuh wilayah Ireland serta melakukan kekacauan di berbagai kerajaan.

Pangeran Axell terlahir memiliki kekuatan sihir yang berbeda dengan para Wizard pada umum nya, kekuatan nya yang berkali-kali lipat lebih besar membuat dirinya begitu sulit untuk mengendalikan sihir yang tertanam sejak lahir, tidak jarang pangeran Axell juga melukai siapa saja yang berdekatan bersama nya.

"Ayo kita latihan lagi." Ujar Zero seraya beranjak dari duduknya untuk segera pergi.

Axell tidak menyahut, dirinya memandang punggung Zero yang kian menjauh, sebenarnya Axell merasa ganjal dengan pria biru yang melatih nya, bukan nya hanya kaum Wizard saja yang di karuniai sihir, tapi kenapa Zero dapat mengendalikan sihir bahkan lebih unggul dari para Wizard kelas atas.

Seketika beribu-ribu pertanyaan langsung muncul di dalam otak milik Axell.

"Sebenarnya siapa dia?"

•••

Anna menatap kosong tembok hampa yang berjarak jauh dari tempat dirinya duduk, lamunan terus mengendalikan alam sadar nya sedari tadi, Anna memikirkan nasib yang akan menjemputnya nanti, dirinya merasa keberatan bila diangkat menjadi seorang Ratu di dunia yang penuh misteri, disisi lain orang-orang ingin menempati posisi sebagai Ratu, tapi beda halnya dengan Anna, dirinya tidak mau, lebih baik Anna memilih menjadi orang biasa saja tanpa berkasta.

Ini terlalu memusingkan.

Seraya menyandarkan punggung sempit nya pada kepala ranjang, Anna menghela nafas lelah. "Kenapa hal ini terjadi kepadaku?"

"Kenapa bukan orang lain saja?"

Perlahan Anna merebahkan tubuhnya seraya menarik selimut untuk menutupi separuh tubuh nya, sebenarnya waktu masih siang, tetapi Alaric melarangnya untuk keluar, memenjarakan Anna di kamar mewah agar gadis itu tidak lepas, seusai perdebatan kecil dengan nya, Anna tidak tahu Alaric pergi kemana.

"Aku ingin pulang..." Gumam Anna pelan, dirinya ingin pulang ke dunia asalnya, meskipun Ibu serta kakaknya memperlakukan nya dengan tidak baik tetap saja Anna tidak betah tinggal disini, justru kejadian semenjak dirinya kabur dari rumah benar-benar membuat Anna lelah.

Cklek!

Lucy muncul dari balik pintu raksasa, gadis itu berjalan mendekat seraya berseru. "Yang mulia Ratu saat nya makan siang."

Lantas Anna segera duduk. "Terima kasih."

Seusai mengambil nampan dan meletakkan nya di atas ranjang, Anna segera memakan makanan yang dibawakan Lucy dengan lahap.

Lucy terkejut kala mendengar dua kata yang keluar dari mulut Anna, meskipun hanya ucapan terima kasih tetap saja dirinya merasa begitu senang, selama menjadi pelayan disini baru pertama kalinya Lucy mendapatkan ucapan seperti itu, meskipun hanya hal yang sederhana tapi itu bisa membuat seseorang merasa di hargai.

Menangkap pelayan nya yang hanya berdiri Anna segera menelan makanan nya kemudian menepuk ruang kosong di samping nya. "Duduklah disini."

Lucy melotot lebar. "Ti-tidak yang Mulia, lebih baik saya disini saja."

"Tidak apa, duduklah disini."

Baru akan menolak ajakan Anna, tetapi gadis itu lebih dulu memotong. "Ini perintah dariku, cepatlah duduk!"

Mau tak mau Lucy segera mendudukkan diri, meskipun ada rasa keraguan yang menyelip di dalam hatinya.

"Namamu Lucy bukan?" Tanya Anna seraya memberi seulas senyum tipis.

Lucy mengangguk cepat seraya tersenyum lebar. "Benar yang mulia!"

Senyuman Anna belum memudar, dirinya turun dari ranjang lalu berjalan ke arah jendela bening di sana, samar-samar suara dari kesibukan kota memasuki gendang telinga nya, air muka Anna perlahan berubah. "Apa aku boleh bertanya kepadamu Lucy?"

"Tentu yang mulia, selama saya bisa menjawab." Ujar Lucy seraya mengambil nampan yang berada di atas ranjang.

Badannya berbalik, Anna menatap Lucy dengan sorot mata penuh keraguan.

"Apakah aku pantas menjadi seorang Ratu?"

•••

Alaric menyilangkan ke-dua lengan nya di depan dada seraya memandang hutan belantara melalui kaca di hadapan nya, tatapan nya menghunus ke depan, pikiran nya melalang buana kala mendapat sebuah kejutan yang tidak terduga.

"Mate?" Gumamnya pelan.

Tidak pernah terpikirkan di dalam otak nya bila dirinya akan diberi seorang Mate, karena dirinya mahkluk yang tidak memiliki hati Alaric kira Moon Goddess tidak akan pernah memberikan nya seorang pasangan hidup, tapi dugaan nya salah, setelah dirinya dipertemukan bersama Anna, Alaric kini mulai mengerti bila semua makhluk yang hidup telah memiliki takdir nya masing-masing, tetapi Alaric tidak menyangka bila yang menjadi separuh dari hidup nya adalah makhluk lemah, apa kini takdir memberinya cobaan dengan mengirimkan makhluk yang begitu rapuh kepada-nya?

Alaric mengusap wajah kasar seraya mendudukkan diri di atas kursi kekuasaan nya, bila ini yang takdir inginkan, Alaric akan siap menjaga Anna, tidak akan dirinya biarkan gadis itu tergores sedikitpun.

Tatapan Alaric jatuh ke bawah tumpukan kertas serta gulungan yang menganggur di atas meja, pria itu menyandarkan tubuhnya di bahu kursi, lalu menjentikkan jari hingga memunculkan api yang langsung menghanguskan gulungan di atas meja nya, perlahan lembaran kertas serta gulungan tersebut berubah menjadi abu, diterpa angin dari arah luar jendela kemudian lenyap dari pandangan.

Aroma manis dari tubuh Anna tiba-tiba menghantam kepala Alaric, padahal dirinya berniat pergi ke ruangan bawah tanah, tetapi segera terurung kala hatinya menginginkan gadis itu sekarang, tanpa mau membuang waktu Alaric segera membuka portal, langkah nya terhenti ketika tiba-tiba pintu ruangan kerja nya terbuka, memunculkan Evan yang tengah menggenggam sepucuk surat.

"Salam yang mulia, Putri Victoria sudah sampai, dia menunggu anda di ruang tamu istana." Ujar Evan seraya menundukkan kepala sekilas.

"Kau saja yang menemuinya, aku punya urusan."

Ke-dua alis tebal milik Evan sontak naik tinggi, yang dirinya tahu Alaric tidak punya urusan apapun kecuali rapat kerajaan, meskipun begitu, Alaric jarang menghadirinya, kala bibir Evan hendak berucap, Alaric lebih dulu memotong.

"Aku punya urusan ingin menemui Ratu-ku."

DESTINY WITH THE DEVILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang