Api terus melahap perumahan yang tak bersalah, berpindah-pindah begitu cepat hingga nyaris menghanguskan seluruh perumahan, teriakan kesakitan mengudara, menggema di bawah langit gelap-gulita, kaum-kaum penyihir terlihat tergeletak mengenaskan di atas permukaan tanah, sebagian dari mereka mati karena terbakar oleh nyala api yang begitu panas.
"Kau bilang akan menyerang langsung ke kerajaan Earthland? Kenapa kita malah diam di sini?" Tanya Talisa kepada saudaranya.
"Kita bermain-main dulu sebentar, lagi pula kerajaan itu tidak jauh dari wilayah ini." Balas Tillie tenang.
Sedangkan Tina yang sedari tadi diam perlahan mengarahkan lengan nya ke atas langit. "Aku akan membuat mereka merasakan kesakitan yang lebih."
Seketika kaum-kaum yang masih menghembuskan nafas mengeluarkan jeritan nyaring mereka kala merasakan panas di sekujur tubuh, kulit mereka perlahan memutih di susul sepasang mata menghitam.
"Aku sudah bisa mengendalikan mereka. Ayo kita serang kerajaan Eartland." Imbuh Tina memberitahu.
Tillie yang hendak melangkahkan kaki tiba-tiba mendapat serangan sihir dari arah belakang, namun dengan gesit dirinya segera menghempaskan sihir tersebut hingga mengarah ke arah lain.
"Siapa kalian?!" Tanya seorang prajurit yang berjaga, lebih tepatnya sosok yang melemparkan sihir kepada Tillie.
Seusai berjalan mendekat, prajurit Wizard itu sontak mematung kala menangkap ke-tiga gadis yang separuh wajah nya dibalut kain, salah satu dari mereka ada yang berbeda, Tillie memiliki mata besar di tengah-tengah dahi nya serta ulur-ulur hitam mengitari mata besar tersebut.
"Bereskan serangga itu!" Perintah Tillie seraya berjalan pergi di ikuti oleh saudaranya yang bernama Talisa.
Tina yang tersisa segera menatap prajurit Wizard yang tengah berdiri di hadapan nya.
"Apa kau mau menyusul teman-temanmu itu?" Ujarnya seraya menunjuk para prajurit yang tergeletak dengan darah segar keluar dari dalam mulut.
Lantas prajurit itu langsung mengepalkan ke-dua tangan nya marah, tanpa basa-basi segera melemparkan sihir peledak, meskipun sepasang matanya tertutup kain Tina dapat menghindar dengan begitu mudah.
"Apa-apaan itu?!" Tanya si prajurit terlihat terkejut, tidak mungkin orang buta bisa menghindar begitu saja bukan?
Si prajurit mengedipkan matanya sekali dan Tina sudah menghilang dari pandangan nya, menyapu pandangan ke sekitar si prajurit hanya menangkap kaum-kaum terdampar tanpa menghembuskan nafas serta perumahan yang telah luluh-lantak di telan panasnya api, si prajurit segera berjalan, namun kakinya berhenti kala benda tajam tiba-tiba menusuk tepat di jantung nya berada, si prajurit perlahan menoleh ke arah belakang hingga dirinya dapat menangkap Tina yang tengah tersenyum meremehkan.
"Orang bodoh sepertimu tidak pantas menjadi lawan-ku!" Ujar Tina tanpa ekspresi di wajah.
Tina segera menarik belati yang menancap di tubuh si prajurit, seketika tubuh prajurit tersebut langsung ambruk ke bawah dengan darah yang mulai keluar dari bagian dada nya.
"Sebaiknya aku segera pergi, Talisa dan Tillie pasti sudah menunggu."
•••
"Apa aku boleh memetik ini?"
"Tentu saja, kau boleh memetik bunga itu sebanyak yang kau mau."
Anna merunduk lalu memetik dua bunga tulip yang memekar indah berwarna merah terang, lantas dirinya segera mendekat ke arah Alaric yang tengah memerhatikan nya sedari tadi.
"Aku akan menanam bunga ini di kamarku." Ujar Anna setelah berdiri di hadapan pria itu.
Alaric mengangguk kemudian menunjuk pohon raksasa yang berdiri di tepi taman. "Ayo kita ke sana."
Anna segera mengikuti langkah Alaric yang membawa nya ke sebuah pohon tua, meskipun dahan nya terlihat kehilangan warna, dedaunan yang setia melekat masih selebat dulu, sinar rembulan yang tumpah-ruah ke permukaan pohon tersebut mengeluarkan sinar kilau yang membuat sepasang mata menciptakan cahaya kecil.
Seusai sampai, Alaric segera menyandarkan punggungnya ke atas dahan pohon besar tersebut, dirinya menarik Anna agar duduk di atas pangkuan nya.
"Aku duduk di sana saja." Ujar Anna yang akan beranjak dari tempatnya, namun Alaric segera menariknya kembali, bahkan pria itu memeluknya begitu erat.
"Jangan jauh-jauh dariku Nana!"
"Aku hanya duduk di samping-mu, jangan terlalu berlebihan Willi!"
"Tetap saja aku tidak menyukainya."
Anna membuang nafas panjang, sampai kapan dirinya akan diperlakukan seperti ini? Rasa ingin melarikan diri dari dalam hatinya untuk meninggalkan Alaric semakin kuat.
Perlahan keheningan menerobos masuk ke dalam suasana ke-dua insan yang masih membisu, Alaric menaruh dagu nya di atas pundak kecil milik Anna, netra gelap nya menangkap bunga-bunga kecil yang hidup di tengah-tengah ilalang, Alaric segera memetik bunga mungil tersebut kemudian menarik surai Anna untuk dirinya rias menggunakan tumbuhan alami, seusai menancapkan bunga itu di sela-sela helai surai Anna, Alaric tersenyum lebar.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Anna seraya menarik surainya.
"Bagus bukan?"
"Mu-mungkin." Anna menggeleng kala menangkap surai nya yang penuh dengan para bunga.
"Ucapkan dengan jelas Nana, karyaku bagus bukan?!"
Anna mengangguk pasrah. "Karyamu sangat bagus."
Senyuman Alaric tak memudar, lantas dirinya menggengam ke-dua lengan Anna, lalu mengelus punggung tangan nya dengan lembut, Anna setia diam, karena dirinya yakin bila mengeluarkan suara keluhan, perdebatan yang tidak berujung akan tercipta.
Kala merasakan sesuatu yang halus serta berbulu bersentuhan bersama kulit tengkuk nya Anna mengambil benda tersebut yang dirinya kira adalah bunga, tetapi nyatanya bukan.
"ULAT!" Jerit Anna kaget seraya beranjak lalu mengusap sekujur tubuh dengan bola mata berkaca-kaca.
Ulat yang berada di dunia Immortal begitu berbeda dengan yang ada di dunia miliknya, Anna sempa berfikir bila ulat itu adalah titisan monster.
Alaric segera menghampiri Anna lantas memegangi ke-dua pundak nya yang bergetar kecil. "Ada apa?!" Tanya Alaric yang turut panik, apalagi saat menangkap wajah Anna yang sudah memerah bahkan hampir menangis.
"U-ulat, di sana ada ulat." Ujar Anna seraya menunjuk ilalang dimana dirinya melemparkan ulat tersebut ke sana.
Mengikuti arah yang ditunjuk Anna, Alaric segera menajamkan penglihatan nya, lantas dirinya menjentikkan jari hingga menciptakan petir biru yang langsung menyambar ulat tersebut hingga hangus menjadi abu.
Anna terkejut. "A-apa—"
"Sudahlah, lebih baik kita kembali ke kamar."
Anna menurut, dirinya menghampiri pohon tua yang menjaga dua bunga tulip nya di bawah daun nya yang meneduhkan, lantas kembali berjalan ke arah Alaric yang tampak tenang, seolah kejadian barusan bukan apa-apa.
Anna segera mengikuti langkah Alaric yang mulai menggenggam lengan nya erat.
"Ini terasa begitu aneh." Ujar Anna seraya mendongakkan kepala untuk melihat pemandangan di atas, bumantara tampak terang berteman awan tebal yang terhampar memenuhi langit malam.
"Apa yang aneh?" Tanya Alaric seraya menunduk untuk melihat Anna yang tinggi nya hanya sebatas dada.
"Lihatlah, baru pertama kali ini aku melihat taman di dalam ruangan, apalagi taman itu memiliki pemandangan langit seperti di luar."
Alaric yang mendengar perkataan Anna lantas menyunggingkan senyuman. "Aku bisa membuat apa saja yang aku inginkan."
"Termasuk membuat dunia untuk kita berdua."
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY WITH THE DEVIL
Fantasi[Utamakan follow sebelum membaca.] Please, don't copy my story. ──────────── "Dunia bukan misteri yang harus dipecahkan, tetapi kenyataan yang harus dijalani." Anna tidak menyangka jika hutan lebat yang dimasukinya menyimpan dunia lain, dihuni oleh...