44. Pembalasan

192 32 32
                                    

Holaa ..., me datang...

Untuk bab ini, silakan untuk mempersiapkan bantal, guling, atau tembok untuk menjadi sasaran luapan emosi ..., mungkin bisa membantu :)

Mhm..., I'll leave you to read it :)

Enjoy, and hope you like it :)

44. Pembalasan

"Ingat Jonathan, jangan bertindak bodoh, bermain amanlah. Jika situasi sudah tak terkendali, mundurlah dulu, pulang, lalu kita sama-sama kembali ke sana," Rufus kembali mengingatkan saat Jonathan bersiap menuju Roughten Creek Manor keesokan paginya. "Kau sudah tidak seperti dulu lagi."

"Hey, aku tidak bodoh, Rufus!" Jonathan mulai kesal, Rufus yang selalu menganggapnya invalid.

"Karena itu, biarkan aku ikut!" balas Rufus.

Jonathan terdiam, kemudian menggeleng. "Tidak. Kau jangan ikut. Ini urusanku, ini salahku, aku yang harus membereskannya sendiri," tekannya.

Rufus mendengus, "Dasar keras kepala."

Jonathan tak mempedulikannya.

"Jemput mereka pulang, Jonathan," ucap Rufus pasti.

Jonathan mengangguk.

"Hidup-hidup," tekan Rufus mengingatkan.

"Harus! Aku harus menjemput mereka pulang dalam keadaan hidup."

Rufus mengangguk.

"Mhmm..., Rufus..., tentang titipanku semalam, jika aku mati, berikan itu pada mereka."

Rufus terdiam sesaat, kemudian mengangguk. "Tapi kau juga harus hidup. Kalian bertiga harus pulang dalam keadaan hidup. Aku tak mau mengurus satupun jasad di sini."

Jonathan harus tertawa kecil, dan mengangguk mengerti. Ia segera menaiki kudanya.

"Berhati-hatilah."

Jonathan mengangguk. "Sekali lagi terima kasih banyak, Rufus. Kau sudah melakukan banyak untuk keluargaku," ucapnya tulus, seakan menjadi pesan terakhirnya.

Rufus memandang Jonathan, lalu mengangguk. "Sudah, sana pergi, jemput mereka"

Dengan tarikan napas penuh persiapan, Jonathan memacu kudanya meninggalkan rumahnya.

Rufus melihat kepergian kawannya dengan iringan doa. "Bawa pulang mereka, Jonathan, semoga Tuhan bersamamu."

**##**

Tom terkesiap dengan rasa sakit yang masih dirasakannya. Dia masih hidup. Masih dapat merasakan sakit, dan masih tergantung dalam posisi yang luar biasa menyakitkan.

"Tom..."

Tom mendengar suara itu. Terrence, iapun masih dalam posisi yang sama.

"Kau tidak apa-apa?" Wajah Terrence sangat cemas memandangnya.

Tom hanya mengangguk lirih.

"Kau mengigau semalaman, Tom."

Tom hanya tersenyum tipis. Ia tak heran mendengarnya. Semalam penuh ia tersiksa dengan keringat dingin yang membasahi luka cambuk di belakang. Memang tidak separah yang pernah ia terima dulu, tapi sungguh ia tidak ingin merasakannya lagi. Ia sudah berusaha melupakan rasa sakit itu.

"Bertahanlah Tom.., bertahanlah, kita akan segera keluar dari sini..." ucap Terrence yakin.

Tom hanya mengangguk lirih. Ditariknya napas dalam-dalam mengatur rasa sakit ini.

Keduanya menegang seketika saat merasakan ada yang datang.

Cruel.

"Selamat pagi, anak-anak..." sapa Cruel dengan tersenyum menjijikkan.

Unwanted (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang