Agar tidak terlalu lama menunggu, mari kita lanjutkan...
Enjoy, and hope you like it :)
19. Tetaplah Di Sini
Tiga hari berlalu, Tom tak dapat menahannya lagi. Ia mendengar tangisannya, rintihannya, igauan yang terus memanggil namanya. Terrence mencarinya. Tuan muda membutuhkannya, tapi ia tidak bisa mendekatinya.
Sangat menyiksa melihat Terrence sakit dan sangat membutuhkannya dan dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk menenangkannya. Ia merasa sangat tidak berguna, ia harus menemani Tuan Mudanya, apapun yang terjadi. Ia harus mengambil resiko itu, meski itu akan membuat Tuan Phillip atau Tuan Rufus marah, atau bahkan jika Tuan Warwood mengetahui keberadaannya di sini, yang mungkin akan langsung membunuhnya. Ia harus di samping Terrence.
Dengan mengumpulkan keberaniannya, Tom mengendap masuk ke dalam kamar Terrence. Jantungnya berdebar kencang saat melihat sosok yang amat ditakutinya, tertidur lelap di kursi di samping tempat tidur Terrence. Tapi pandangannya langsung tertuju pada sosok tersayangnya, yang pucat dan belum sadarkan diri. Tom tidak tega melihatnya. Terrence terlihat sangat kesakitan, napasnya terlihat begitu berat, ia masih kesulitan bernapas. Owh, Tuan... Tom ingin menangis melihatnya.
Perlahan ia menggenggam tangan basah dan dingin itu, lalu mengecupnya hangat. Tapi ia harus terkatup dengan bilur merah memenuhi telapak dan pergelangan tangan Terrence, yang terlihat seperti pukulan rotan. Tom menghela napas berat menyadari, tanpa dirinya di samping Terrence, tentu tuan mudanya yang akan menerima semua hukumannya; dari Tuan Warwood, dan tentu saja dari Sir Alex. Rasa bersalah menyesapnya, kalau saja ia ada di samping Terrence, tidak mungkin Tuan Mudanya menerima semua hukuman ini.
Dikecupnya kembali telapak tangan itu, Maafkan saya, Tuan... Kemudian disentuhnya kening basah itu, masih terasa hangat. Tom mengambil lap lembap, dan perlahan mengusapkannya pelan-pelan di kening tuan mudanya.
Tanpa mempedulikan bahaya yang mengintai, Tom merengkuh tubuh ringkih itu ke dalam pelukannya, dan mendekapnya hangat, seraya terus mengusap kening basah itu.
"Saya di sini, Tuan, saya di sini.... Tetaplah bernapas, kau kuat, Tuan..., dan aku akan membuatmu baik-baik saja..., Semua akan baik-baik saja, Tuan, saya janji. Kau kuat..." Tom berucap lirih, terus menenangkan Tuan Mudanya, seperti yang biasa ia lakukan jika Terrence sakit.
Terrence masih terperangkap dalam demamnya. Tubuhnya terasa sakit semua, dan ia tak bisa bernapas. Setiap tarikan napasnya mengirimkan sesak dan sakit ke seluruh tubuhnya. Terrence berontak dan mencari celah untuk dapat bernapas. Sesaat ia terbangun adalah terburuk. Ia dikelilingi orang orang asing yang rajin memaksanya untuk menelan sesuatu, di saat ia kesulitan dan terasa sakit untuk menelan apapun. Hingga ia mendengar suara yang amat dikenalnya. Suara ayahnya, yang justru membuatnya semakin ketakutan. Ia mau Tom..., bukan ayahnya....
Terrence merintih memanggil Tom. Tapi Tom tak pernah datang. Tidak ada Tom. Hingga ia lelah menangis memanggil Tom. Suara itupun tak terdengar lagi.
Lalu tiba-tiba, sebuah sentuhan lembut dan sangat dikenalnya menyentuh tubuhnya. Mendekap tubuhnya, memeluknya hangat disertai suara yang amat dikenal dan dirindukannya yang menenangkannya. T...Toom...? benarkah itu Tom? Tom ada di sini? Tidak mungkin... Tapi ia yakin di suara Tom.
Terrence memaksa untuk membuka matanya dengan sangat berat, ia harus melihatnya... ia harus memastikan itu Tom. Dan lirih ia melihat sosok itu... Tom...?
"T..T..oom?" Suaranya terdengar kecil dan sesak. Lehernya terasa sangat sakit saat berusaha mengeluarkan suara itu.
Mata Tom terbelalak dengan senangnya mendengar namanya disebut, terlebih dengan kedua mata kecil itu akhirnya membuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unwanted (END)
Ficción históricaTerlahir sebagai seorang Budak Perkebunan Kapas, Tom tahu tugas dan posisinya hanya untuk melayani Sang Tuan Muda yang masih berusia 12 tahun. Dengan hanya berjarak usia 4 tahun, Tom menyayangi Terrence seperti kepada adik yang tidak pernah ia mili...