TIGA PULUH DELAPAN

638 110 58
                                    

Jean rasanya hancur sekali. Entah kenapa dia jadi makin sensitif semenjak menghadiri sidang pengadilan perceraiannya dengan Keenan. Hampir setiap malam ia sering menangis dan menyalahkan dirinya, dia bahkan sering menyakiti dirinya dan menyesali apa yang telah terjadi di hidupnya. Kenapa harus Keenan? Semuanya karena kakaknya. Kalau bukan karena masalah finansial, hidupnya tidak akan di ambang kehancuran seperti ini.

Tapi mau bagaimana? Nasi sudah menjadi bubur. Sampai menangis darah pun, tidak akan mengembalikan kondisinya seperti semula.

Jean pikir, Keenan benar-benar tak percaya kalau ia bisa hidup mandiri tanpa bergantung dengannya. Namun ternyata tidak, pengacara pria itu tetap datang menemui Jean dan memberikan semua surat kepemilikan apartemen dan mobil, bahkan ada tambahan lagi yaitu Keenan mengirimkan uang cukup banyak ke rekening orangtuanya.

Dia memang licik. Dia tahu betul kalau Jean tidak akan bisa mengambil uang di rekening orangtuanya untuk di kembalikan.

Tapi, Jean bersumpah pada dirinya. Kalau dia tidak akan berhutang apapun pada keenan. Dia akan mengembalikan semua uang-uang itu begitu ia mendapatkan pekerjaan.

Setelah di pikir-pikir, Jean tidak tahu alamat untuk mengembalikan surat-surat itu. Maka opsi lain yang dia lakukan adalah membakar semua surat-surat itu sampai tak tersisa satu pun.

”Jean? Lo bakar apaan?” Kepalanya langsung menoleh tatakala mendengar suara seseorang bersamaan dengan pagar.

”Surat-surat kepemilikan apartemen dan mobil pemberian keenan,” katanya dingin.

”El, lo ngapain malem-malem kesini?” Pria itu kemudian menghampiri Jean.

”Gue beli bubur. Lo bilang, setiap makan nasi gak pernah masuk kan? Paling enggak lo harus makan, pikirin juga bayi lo.” Jean tersenyum hambar lalu mengambil plastik hitam di tangan Elvano.

”Makasih, El.” Jake mengangguk.

"Sana makan, biar gue yang padamin kalo udah hangus kebakar semuanya.” Jean mengangguk patuh, gadis itu akhirnya meninggalkan Elvano di halamannya.

Elvano menatap Jean dengan sendu. Dia menarik napas panjang sebelum akhirnya mengambil selang air untuk memadamkan api.

Begitu di dalam, Jean segera pergi ke meja makan. Mengambil sendok untuk menyantap bubur pemberian Elvano. Paling tidak, dia hanya perlu makan sedikit untuk menghargai Elvano.

Di sela makannya, tiba-tiba gadis itu tersedak dan segera menuangkan air ke dalam gelasnya.

”Kenapa ya? Gue harus mempertahankan milik Keenan yang jelas-jelas jadi beban buat gue?” Jean kemudian mengusap menyentuh perutnya yang buncit.

”T-tapi gue gak bisa, gue takut. Kalo bayi ini mati, gue bakal jadi pendosa. Dia jelas bukan anak haram, dia masih punya ayah.” Jean menahan air matanya untuk tak jatuh.

”K-kenapa sih, Jean?! Lo bego banget. Kenapa lo baru sadar di saat semuanya udah berakhir?! Kenapa lo baru ngerasain itu di saat dia pergi dari hidup lo selamanya? Kenapa?!” Jean meremas gelasnya. Air matanya mulai berjatuhan dan dadanya sesak bukan main.

Jean menyesal. Dia baru sadar sekarang. Dia baru memahami perasaannya.

”Keenan brengsek!” Craang! Jean melempar gelas di tangannya secara asal hingga serpihannya menggores pipinya.

Elvano yang mendengar suara pecahan dari dalam sempat terkejut.

”Jean?!” Paniknya yang langsung berlari masuk ke dalam.

Elvano terkejut bukan main tatkala melihat pecahan gelas yang berserakan di lantai. Juga mendapati Jean menangis sesenggukan di bawah dekat pecahan beling.

Sweet Revenge✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang