EMPAT PULUH LIMA

245 50 14
                                    

Elvano tak mampu menahan air mata ketika Dokter tidak bisa menjawab pertanyaan. Padahal sang Dokter sudah berjanji akan menyelematkan nyawa Jean. Meskipun terdengar egois, tapi saat pikiran sedang kalut dan hati kacau. Seseorang biasanya akan mencari orang lain untuk dijatuhkan kesalahan.

Kurang lebih, itulah yang sedang Elvano alami. Pria itu benar-benar terpukul mengetahui kenyataan yang membuat dadanya sakit.

”Jean? Lo bisa denger gue? Anak lo cowok, Je. Dia sehat dan mukanya mirip banget sama lo. Lo gak ada niatan buat lihat dia?” Elvano menyeka air matanya, dia berusaha untuk tidak menangis di hadapan Jean.

”Gue gak percaya sama omongan dokter itu, gue tau lo ini kuat. Lo bahkan lebih kuat dari yang lo bayangkan. Setelah semua beban udah berhasil lo lalui, masa iya kali ini lo mau kalah?” Elvano duduk menatap Jean yang terbaring di kasur dengan wajah pucat seperti kekurangan darah.

”Jean? Lo denger gue kan?” Elvano meraih gangan gadis itu lalu merasakan suhu yang dingin saat menggenggamnya.

”Dingin. Lo pasti kedinginan kan?” Elvano melepas jaketnya lalu menyelimuti gadis itu.

”Kalau lo buka mata, gue bakal buat pengakuan sama lo. Pengakuan yang lo tunggu-tunggu selama ini,” ucapnya pelan namun gadis itu masih tetap sama. Tidak ada pergerak sedikitpun.

”Lo janji kan bakal bangun?” tanya Elvano memastikan dengan menatap wajah gadis itu sekali lagi.

”Setelah lo denger pengakuan ini, gue harap lo bisa secepat mungkin buka mata. Denger, Je?” bisik Elvano.

Elvano menarik napas panjang, dia kemudian merenggangkan ototnya sejenak sebelum mulai bicara.

”Oke, jadi gini ... Sejujurnya gue malu untuk ngomong ini sama lo. Terlebih lagi karena perbedaan kelas sosial kita. Gue orang miskin yang pas-pasan sementara lo berasal dari keluarga yang berkecukupan dan bahkan lo anak kuliahan. Jadi rasanya, gue selalu mikir dua kali setiap kali mau maju satu lebih deket "kira-kira gue pantes gak ya?” apalagi saingan gue orang dewasa kaya raya yang punya rumah sakit. Dari awal gue emang salah, gak seharusnya kan gue simpen perasaan ini diam-diam? Harusnya waktu lo coba masuk ke dalam hidup gue, gue bisa nahan semuanya.” Elvano mengembuskan napas kasar. Dia kemudian menunduk karena merasa bersalah sekaligus malu di waktu yang sama.

”Iya, gue suka sama lo. Kalau Lo denger nunggu pengakuan gue selama ini tentang perasaan gue sama lo, iya. Gue suka sama lo Jean, tapi ada pembatas tinggi yang menyadarkan gue untuk suka dalam diam. Puas Je? Sekarang lo udah tau semuanya, sebenernya butuh nyali besar untuk ngomong ini. Gue malu sekaligus ngerasa minder tiap kali mengakui perasaan gue yang konyol ini...” Elvano terkekeh geli. Dia kembali diam, wajahnya datar memandangi Jean yang tak kunjung gerak.

Tiga detik kemudian, ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk.

'Gavin'

”Halo, Vin?”

”Lo dimana? Ada beberapa berkas yang harus gue urus, tapi gue dapet kabar kalau keluarganya Jean baru sampe. Jadi mereka gak tau ruangannya Jean, gue minta tolong ke lo dong buat jemput mereka di lobi,”

”Mereka mau dateng buat jenguk Jean?”

”Nada bicara lo kenapa dah? Kayak kaget gitu, emang Jean kenapa? Kejang-kejang bocahnya?” Elvano lantas beranjak dari bangku, dia bergegas untuk menemui Gavin.

”Jadi, lo belum di kasih tau dokter perihal Jean?”

”Maksud Lo?”

”Lo dimana? Lebih baik kita ketemuan biar ngomongnya enak”

”Administrasi”

”Yaudah, gue kesana——” Elvano terkejut saat mendengar suara orang yang terbatuk-batuk dari arah belakangnya. Pria itu lantas menoleh kebelakang dan reflek menurunkan ponselnya dari telinga.

Sweet Revenge✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang