Chapter 20

725 120 9
                                    

~~~ Happy Reading ~~~



Harry bukan main girangnya ketika menyadari dia menemukan sesuatu
yang bisa dilakukannya tanpa perlu diajari ini mudah, ini luar biasa
menyenangkan. Di angkatnya sedikit sapunya untuk membuatnya naik lebih tinggi dan di dengarnya pekik kaget anak-anak perempuan di bawah dan teriak kekaguman Ron.

Dibelokkannya sapunya dengan tajam untuk menghadapi Malfoy di angkasa. Malfoy kelihatan kaget.

"Berikan padaku bolanya. Kalau tidak, kudorong jatuh kau dari sapumu!" Harry sedang mengancam Draco.

"Oh, yeah?" kata Malfoy, berusaha menyeringai, tetapi wajahnya tampak cemas.

Harry tahu apa yang harus dilakukannya. Dia membungkuk sedikit dan memegang erat-erat sapunya dengan kedua tangannya dan sapu itu melesat menuju Malfoy. Nyaris saja Malfoy tertabrak, tetapi dia berhasil menghindar pada saat terakhir. Harry membelok tajam
dan memegangi sapunya supaya lebih mantap.

"Di sini tak ada Crabbe dan Goyle yang bisa menyelamatkan lehermu, Malfoy," kata Harry.

Pikiran yang sama rupanya terlintas di benak Malfoy.

"Tangkap saja sendiri kalau bisa!" teriaknya, dan dilemparkannya bola kaca itu tinggi-tinggi ke angkasa, lalu Malfoy meluncur turun.

Harry melihat, seakan dalam gerakan lambat, bola itu terlontar ke atas, lalu mulai turun. Dia membungkuk dan mengarahkan gagang sapunya ke bawah. Detik berikutnya dia
meluncur turun cepat sekali, angin menderu di telinganya, bercampur dengan jeritan dan teriakan anak-anak yang menonton. Harry menjulurkan tangan, kira-kira tiga puluh senti dari tanah dia berhasil menyambar bola itu, tepat pada waktunya untuk meluruskan sapunya dan jatuh pelan di rerumputan dengan Remembrall selamat dalam genggamannya.

"HARRY POTTER!"

Jantung Harry mencelos, melorot lebih cepat dari gerak menukiknya tadi. Profesor McGonagall berlari-lari ke arah mereka. Harry berdiri, gemetar.

"Belum pernah — selama aku di Hogwarts..." Profesor McGonagall nyaris tak bisa bicara saking shock-nya, kacamatanya
berkilat-kilat. "Berani-beraninya kau."

"Bukan dia yang salah, Profesor..."

"Diam, Miss Patil..."

"Tapi Malfoy..."

"Cukup, Mr Weasley. Potter, ikut aku sekarang."

Pansy lalu menyeret (Y/n) untuk ikut dengannya. "Ayo kita pergi dari sini, (Y/n)."

"Tapi, Pansy."

"Sudah, biarkan saja mereka berada dalam masalah."

Harry sempat melihat wajah Malfoy, Crabbe, dan Goyle yang penuh kemenangan saat dia berjalan dengan perasaan beku, mengikuti Profesor McGonagall menuju ke kastil. Dia
ingin mengatakan sesuatu untuk membela diri, tetapi ada yang tidak beres dengan suaranya. Profesor McGonagall berjalan cepat, bahkan tanpa memandangnya. Harry harus berlari-lari kecil agar tidak ketinggalan. Tamatlah riwayatnya sekarang. Padahal belum dua minggu dia di sini. Sepuluh menit lagi dia akan mengepak barang-barangnya.

Apa kata keluarga Dursley
jika dia nanti muncul di depan pintu rumah mereka? Menaiki undakan depan, menaiki tangga pualam di dalam, dan masih saja Profesor McGonagall belum berkata apa-apa kepadanya. Dia membuka pintu-pintu dan berjalan menyusuri koridor-koridor, sementara Harry mengikutinya dengan perasaan merana.

Mungkin Profesor McGonagall membawanya ke Dumbledore. Harry teringat Hagrid, yang sudah dikeluarkan tetapi masih diizinkan tinggal sebagai pengawas binatang liar. Mungkin dia bisa jadi asisten Hagrid.

Perutnya melilit ketika dia membayangkan mengawasi Ron dan teman-temannya yang lain menjadi penyihir, sementara dia sendiri cuma berkeliling halaman kastil, membawakan tas Hagrid.
Profesor McGonagall berhenti di depan sebuah kelas. Dia membuka pintu dan menjulurkan kepalanya ke dalam.
"Maaf, Profesor Flitwick, boleh aku pinjam Wood sebentar?"

'Wood?' pikir Harry bingung.

Apakah Wood nama tongkat yang akan digunakan untuk menghajarnya? Tetapi ternyata Wood adalah anak kelas lima yang besar dan tegap. Dia keluar dari
kelas dengan kebingungan.

"Ikut aku, kalian berdua," kata Profesor McGonagall, dan mereka berjalan menyusuri koridor, Wood memandang Harry dengan ingin tahu.

"Masuk sini." Profesor McGonagall menunjuk ke dalam kelas yang kosong, di dalamnya hanya ada
Peeves yang sedang sibuk menulis kata-kata tidak sopan di papan tulis.

"Keluar, Peeves!" bentak Profesor McGonagall.

Peeves melemparkan kapurnya ke
dalam kaleng, yang berkelontangan keras, dan dia melesat keluar sambil
menyumpah-nyumpah. Profesor McGonagall membanting pintu menutup dan berbalik menghadapi kedua anak
itu.

"Potter, ini Oliver Wood. Wood, aku sudah mendapatkan Seeker untukmu."

Seeker berarti pencari. Ekspresi Wood berubah dari kebingungan menjadi kegirangan.

"Anda serius, Profesor?"

"Seratus persen," kata Profesor McGonagall dengan tegas."Anak ini berbakat alam. Belum pernah aku melihat yang seperti ini. Apakah tadi itu untuk pertama kalinya kau naik sapu, Potter?"

Harry mengangguk dalam diam. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tetapi kelihatannya dia tidak dikeluarkan, dan sedikit demi sedikit perasaan kembali
menghangati kakinya.

"Dia menangkap benda di tangannya itu setelah menukik lima belas meter." Profesor McGonagall memberitahu Wood. "Sama sekali tidak luka, tergores pun tidak. Charlie Weasley saja tak akan bisa melakukannya."

Wajah Wood berubah, seperti orang yang dalam sekejap mendapatkan semua impiannya telah menjadi kenyataan.

"Pernah menonton Quidditch, Potter?" Wood bertanya penuh semangat.

"Wood adalah kapten tim Gryffindor," Profesor McGonagall menjelaskan.

"Potongan tubuhnya juga cocok untuk Seeker," kata Wood, yang sekarang berjalan mengelilingi Harry dan memandanginya.
"Ringan,cepat, kita harus memberinya sapu yang pantas, Profesor. Nimbus Dua Ribu atau Sapu-bersih Tujuh, saya rasa."

"Aku akan bicara dengan Dumbledore, siapa tahu kita bisa melunakkan aturan tentang
anak kelas satu itu. Kita perlu sekali tim yang lebih bagus daripada tahun lalu. Kalah total dari Slytherin dalam pertandingan terakhir, aku tak berani memandang Severus Snape selama
berminggu-minggu...." Profesor McGonagall memandang tajam Harry dari atas kacamatanya. "Aku ingin dengar kau berlatih keras, Potter. Kalau tidak, mungkin aku akan berubah pikiran. Mungkin kau harus dihukum."

Mendadak dia tersenyum. "Ayahmu akan bangga sekali. Dia sendiri pemain Quidditch yang hebat."

Merasa kebosanan kamar asramanya, (Y/n) memutuskan untuk berjalan menuju ke perpustakaan dan menghabiskan waktu di sana. Selama berada di lorong-lorong sekolah, secara tak sengaja dia bersenggolan dengan seseorang dari asrama Hufflepuff.

"Ah, saya tidak sengaja tadi menabrak Anda. Maafkan saya."

Pemuda itu tersenyum. "Tidak apa-apa, lagipula aku juga yang salah karena tidak memperhatikan jalan tadi. Saya justru senang melihat orang yang terkenal di Hogwarts selain Harry Potter."

(Y/n) memalingkan wajahnya sedikit. "Eeemm itu semua karena aku keturunan langsung dari Salazar Slytherin, pendiri dari asrama Slytherin."

"Ngomong-ngomong namaku Cedric Diggory, dari asrama Hufflepuff. Panggil saja aku dengan Cedric. Tak perlu formal denganku. Senang bertemu denganmu."

"Ah, senang bertemu denganmu juga, Cedric."

"Memangnya kau ini mau ke mana, kalau saya boleh tahu?"

"Aku mau ke perpustakaan sekolah. Aku merasa bosan terus berada di dalam kamar."

"Ah, kebetulan juga aku mau ke sana. Bagaimana kalau kita bareng ke sana."

(Y/n) mengangguk pelan dan tersenyum kecil. Mereka berdua berjalan menuju ke perpustakaan dan di jalan, mereka terlihat asik saling mengobrol.

~~~ Bersambung ~~~

The Daughter of A Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang