Chapter 25

531 81 0
                                    

~~~ Happy Reading ~~~


Mungkin karena sekarang sangat sibuk, apalagi dengan latihan Quidditch tiga malam dalam seminggu, ditambah PR-PR-nya, Harry heran sendiri ketika menyadari dia sudah berada di Hogwarts selama dua bulan. Kastil itu lebih terasa rumah daripada rumah di Privet Drive. Pelajaran-pelajarannya juga semakin menarik, setelah mereka menguasai
dasar-dasarnya. Pada pagi Halloween mereka terbangun oleh bau lezat labu panggang yang menguar di koridor-koridor.

Lebih asyik lagi, Profesor Flitwick mengumumkan di pelajaran Jimat dan Guna-guna bahwa menurut pendapatnya mereka sudah siap untuk mulai membuat benda-benda melayang, sesuatu yang sudah ingin sekali mereka coba sejak mereka melihat Profesor Flitwick membuat kodok Neville terbang berputarputar di dalam kelas. Profesor Flitwick membagi mereka berpasang-pasangan untuk berlatih.

Partner Harry adalah Seamus Finnigan (dia lega, karena Neville dari tadi sudah berusaha memberi kode
dengan matanya). Tetapi Ron harus bekerja sama dengan Hermione Granger. Sulit dikatakan apakah Ron atau Hermione yang lebih marah karena ini. Hermione sudah tidak bicara dengan mereka sejak sapu Harry tiba.

"Nah, jangan lupa gerakan manis pergelangan, tangan yang sudah kita latih!" seru Profesor Flitwick, yang seperti biasa bertengger di atas tumpukan bukunya. "Ayun dan
sentak, ingat, ayun dan sentak. Dan mengucapkan mantra dengan benar juga sangat penting. Jangan lupa pada Penyihir Baruffio, yang menyebut 's' alih-alih 'f', dengan akibat dia
mendadak tergeletak di lantai dengan kerbau di atas dadanya."

Sulit sekali. Harry dan Seamus mengayun dan menyentak, tetapi bulu yang seharusnya mereka buat melayang ke udara tetap saja tergeletak di atas meja. Seamus akhirnya habis kesabaran sehingga dia menyodok bulu itu dengan tongkatnya, dan membuat bulu itu terbakar. Harry terpaksa memadamkannya dengan topinya.
Ron, di meja sebelah, nasibnya tidak lebih baik.

"Wingardium Leviosa!" seru Ron, melambaikan tangannya seperti kincir.

"Cara ngomongmu salah," Harry mendengar Hermione menukas.

"Mestinya Wing-gar-dium Levio-sa, 'gar'-nya yang enak dan panjang."

"Lakukan saja sendiri, kalau kau begitu pintar," kata Ron geram.

Hermione menggulung lengan jubahnya, menjentikkan tongkatnya dan berkata, "Wingardium Leviosa!"

Bulu mereka terangkat dari atas meja dan melayang-layang kira-kira satu seperempat meter di atas kepala mereka.

"Oh, bagus sekali!" seru Profesor Flitwick seraya bertepuk tangan. "Semua lihat ke sini, Miss Granger sudah berhasil!"

Saat pelajaran usai, Ron terlihat marah sekali.

"Pantas saja tak ada anak yang tahan berteman dengannya,"katanya kepada Harry sementara mereka berdesakan di koridor. "Dia mengerikan sekali. Sungguh!"

Ada yang menabrak Harry ketika anak-anak bergegas melewatinya. Ternyata Hermione. Sekilas Harry melihat wajahnya dan tercengang melihat air matanya bercucuran.

"Kurasa dia mendengarmu."

"Jadi?" kata Ron, tapi dia kelihatan tidak enak. "Dia pasti sudah menyadari dia tak punya teman."

Hermione tidak muncul pada pelajaran berikutnya dan tidak kelihatan sepanjang sore itu. Ketika turun menuju Aula Besar untuk pesta Halloween, Harry dan Ron mendengar Parvati Patil memberitahu temannya, Lavender. Bahwa Hermione sedang menangis di toilet untuk anak perempuan dan minta ditinggalkan sendirian. Ron
menjadi tambah tidak enak, tetapi sesaat kemudian mereka sudah memasuki Aula Besar.

Dekorasi Halloween di aula itu membuat mereka melupakan Hermione. Seribu kelelawar hidup berterbangan di dinding dan langit-langit, sementara seribu
lainnya melayang di atas meja membentuk awan-awan hitam gelap, membuat lilin-lilin di dalam labu bergoyang. Makanan-makanan tiba-tiba muncul di piring emas, seperti waktu pesta awal tahun ajaran baru. Harry sedang mengambil kentang ketika Profesor Quirrell terburu-buru masuk Aula,
turbannya miring, wajahnya diliputi kengerian.

Semua anak mengawasinya ketika dia tiba di kursi Profesor Dumbledore, bersandar lemas ke meja, dan berkata dengan tersengal-sengal. "Troll—di ruang bawah tanah—saya pikir Anda harus tahu."

Kemudian dia merosot ke lantai dan pingsan. Seluruh penghuni Aula Besar menjadi geger. Perlu beberapa ledakan mercon ungu dari ujung tongkat Profesor Dumbledore untuk membuat ruangan tenang kembali.

"Prefek." panggil Profesor Dumbledore." Bawa kembali anak-anak asrama kalian ke asrama
masing-masing, segera!"

Percy senang sekali. "Ikut aku! Berkumpul, kelas satu! Tak perlu takut troll kalau kalian mengikuti perintahku! Berada dekat-dekat di belakangku. Beri jalan, kelas satu duluan! Maaf, aku Prefek!"

"Bagaimana troll bisa masuk?" Harry bertanya ketika mereka menaiki tangga.

"Mana aku tahu, mereka kan makhluk-makhluk konyol." jawab Ron.

"Mungkin Peeves yang memasukkannya sebagai lelucon Halloween."

Mereka berpapasan dengan rombongan berbeda-beda, dengan jurusan berlainan pula. Ketika mereka menyelip-nyelip di antara rombongan Hufflepuff yang kebingungan, mendadak
Harry mencengkeram lengan Ron.

"Aku baru ingat, Hermione."

"Kenapa dia?"

"Dia tidak tahu tentang troll ini."
Ron menggigit bibir.

"Oh, baiklah," tukasnya. "Tapi lebih baik Percy jangan sampai
melihat kita."

Sambil menunduk, mereka bergabung dengan anak-anak Hufflepuff menuju arah yang
berlawanan, menyelinap ke koridor samping yang sepi dan bergegas ke toilet anak perempuan. Baru saja membelok di sudut, mereka mendengar langkah-langkah cepat di belakang mereka.

"Percy!" desis Ron, menarik Harry ke belakang patung baru besar makhluk berkepala dan bersayap elang, tapi bertubuh singa.

Mengintip dari balik patung itu, yang mereka lihat bukan Percy, melainkan Snape. Dia menyeberang koridor dan menghilang dari pandangan.

"Apa yang dilakukannya?" bisik Harry. "Kenapa dia tidak di ruang bawah tanah bersama guru-guru yang lain?"

"Mana kutahu."

Sepelan mungkin, tanpa bersuara, mereka merayapi koridor berikutnya, mengikuti langkah-langkah Snape yang menjauh.

"Dia menuju lantai tiga," kata Harry, tetapi Ron mengangkat tangannya.

"Apakah kau mencium sesuatu?"
Harry mengendus dan bau busuk menusuk hidungnya, campuran antara kaus kaki bau dan toilet umum yang tak pernah dibersihkan.

Dan kemudian mereka mendengarnya, suara geram rendah dan entakan kaki raksasa. Ron
menunjuk ke ujung koridor di sebelah kiri, sesuatu yang besar sekali sedang bergerak ke arah mereka. Mereka surut ke dalam bayang-bayang dan mengawasi makhluk itu melangkah dalam sorotan cahaya bulan.

Sungguh pemandangan yang mengerikan. Tiga setengah meter tingginya, kulitnya abu-abu kusam, tubuhnya mirip gumpalan batu besar, dengan kepalanya yang kecil
bertengger di atasnya seperti sebutir kelapa. Kakinya pendek dan gemuk, sebesar batang pohon, dengan telapak kaki rata dan bertanduk. Baunya bukan main busuknya. Dia memegang pentung besar yang terseret di lantai
karena lengannya panjang sekali.
Troll itu berhenti di depan pintu dan melongok ke dalamnya.

Dia menggoyangkan telinganya yang panjang, mencoba berpikir dengan otaknya yang kecil, kemudian berjalan masuk dengan pelan-pelan.

"Kuncinya ada di situ." Harry bergumam. "Kita bisa menguncinya di dalam."

"Ide bagus," kata Ron gugup.

Mereka berjingkat menuju pintu yang terbuka, mulut mereka kering, seraya berdoa agar si troll tidak keluar dari pintu itu. Dengan satu lompatan panjang, Harry berhasil meraih kunci, menggabrukkan pintu, dan menguncinya.

"Yes!"

Dengan wajah kemerahan berkat keberhasilan mereka, mereka berlari ke arah berlawanan.

~~~ Bersambung ~~~

The Daughter of A Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang