Chapter 33

416 63 1
                                    

~~~ Happy Reading ~~~

"Kau seharusnya membangunkan aku," kata Ron marah.

"Kau boleh ikut malam ini, aku akan ke sana lagi, aku ingin menunjukkan cermin itu kepadamu."

"Aku ingin lihat ibu dan ayahmu," kata Ron bersemangat.

"Dan aku ingin melihat semua keluargamu, kau akan bisa menunjukkan dua kakakmu yang paling besar dan keluargamu yang lain."

"Kau bisa melihat mereka kapan saja," kata Ron. "Ikutlah ke rumahku musim panas ini. Kalau perlu bawa (Y/n) juga.
Lagipula, mungkin cermin itu cuma menunjukkan orang-orang yang sudah meninggal. Sayang sekali kau tidak menemukan Flamel. Makan daging asap ini, atau apalah. Kenapa kau tidak makan apa-apa?"

Harry tak bisa makan. Dia sudah melihat orangtuanya dan akan melihat mereka lagi malam ini. Dia sudah hampir melupakan Flamel. Flamel kelihatannya tak begitu penting lagi. Siapa yang peduli apa yang dijaga anjing berkepala tiga itu? Sebetulnya, peduli apa kalau Snape mencurinya?

"Kau tak apa-apa?" tanya Ron. "Kau tampak aneh."

Yang paling ditakuti Harry adalah dia tak bisa lagi menemukan ruang cermin itu.
Berselubung jubah, bersama Ron, mereka harus berjalan jauh lebih pelan pada malam berikutnya.
Mereka mencoba napak tilas rute Harry dari perpustakaan, berputar-putar di
lorong-lorong gelap selama hampir satu jam.

"Aku kedinginan," kata Ron. "Ayo, kita lupakan saja dan balik ke kamar."

"Tidak!" desis Harry. "Aku tahu ruang itu ada di sekitar sini."

Mereka berpapasan dengan hantu penyihir jangkung yang melayang ke arah berlawanan, tetapi tidak bertemu siapa-siapa lagi. Tepat ketika Ron mulai mengeluh kakinya beku kedinginan,
Harry melihat baju zirah itu.

"Itu ruangannya, di sini ya!" mereka mendorong pintunya.

Harry menjatuhkan jubah dari bahunya dan berlari ke cermin. Itu dia mereka. Ayah dan ibunya tersenyum melihatnya.

"Lihat?" Harry berbisik.

"Aku tidak melihat apa-apa."

"Lihat! Lihat mereka semua... kan banyak itu...."

"Aku cuma bisa melihatmu."

"Lihat baik-baik, sini, berdiri di tempatku."

Harry minggir, tetapi dengan Ron di depan cermin, dia tak bisa lagi melihat keluarganya, hanya melihat Ron yang memakai piyama. Ron, sebaliknya, terpaku menatap bayangannya.

"Lihat aku!" katanya.

"Apakah kau bisa melihat semua keluargamu mengelilingimu?"

"Tidak... aku sendirian... tetapi aku berbeda... aku kelihatan lebih tua... dan aku Ketua Murid!"

"Apa?"

"Aku... aku memakai lencana seperti yang dulu dipakai Bill...dan aku memegang Piala Asrama dan Piala Quidditch... aku juga kapten Quidditch!" Ron memalingkan wajah dari pemandangan luar biasa ini untuk menatap Harry dengan bergairah. "Apakah menurutmu cermin ini memperlihatkan masa depan?"

"Mana bisa? Semua keluargaku sudah meninggal, coba aku lihat lagi...."

"Kau kan sudah puas melihat semalam, beri aku kesempatan sedikit lagi."

"Kau cuma memegang Piala Quidditch, apa menariknya? Aku ingin melihat orangtuaku."

"Jangan mendorongku..."

Mendadak terdengar suara di koridor, mengakhiri perdebatan mereka. Mereka tidak sadar telah bicara keras-keras.

"Cepat!" Ron menyampirkan jubah ke tubuh mereka.

Ketika mata berkilau Mrs Norris muncul dari balik pintu. Ran dan Harry berdiri diam-diam, keduanya memikirkan hal yang sama. Apakah jubah ini berlaku untuk kucing juga? Setelah rasanya lama sekali, kucing itu berbalik dan pergi.

"Sudah tidak aman, siapa tahu dia menemui Filch. Pasti tadi dia mendengar kita. Ayo." Ron menarik Harry meninggalkan ruangan itu.

Salju masih belum mencair keesokan harinya.

"Mau main catur, Harry?" tanya Ron.

"Tidak."

"Bagaimana kalau kita mengunjungi Hagrid?"

"Tidak... kau saja...."

"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Harry. Cermin itu. Jangan kembali ke sana malam ini."

"Kenapa tidak?"

"Aku tak tahu, cuma perasaanku tidak enak, lagi pula, kau sudah nyaris ketahuan beberapa kali. Filch, Snape, dan Mrs Norris berkeliaran. Memang mereka tidak bisa melihatmu. Tapi bagaimana kalau mereka menabrakmu? Bagaimana kalau kau menabrak sesuatu?"

"Kau jadi seperti Hermione."

"Aku serius, Harry, jangan pergi."

Tapi Harry cuma memikirkan satu hal saja, yaitu kembali ke depan cermin, dan Ron tak bisa menghalanginya.

Malam ketiga dia dan (Y/n) menemukan kamar itu lebih cepat daripada sebelumnya. Mereka berjalan
sangat cepat, mereka tahu itu tidak bijaksana, sebab dia membuat suara, tetapi mereka tidak bertemu siapa-siapa. Dan ayah dan ibunya tersenyum lagi kepadanya, dan salah satu kakeknya mengangguk-angguk senang. Harry merosot duduk di depan cermin. Sedangkan (Y/n) duduk di samping Harry dengan menyandarkan kepalanya.

Tak ada yang bisa mencegah mereka tinggal di sini semalam penuh bersama keluarganya. Tak ada. Kecuali...

"Wah... kembali lagi, Harry dan (Y/n)?"

Harry dan (Y/n) merasa seakan organ-organ tubuhnya telah berubah jadi es. Mereka menoleh ke belakang. Duduk di salah satu meja dekat dinding, tak lain dan tak bukan adalah Albus Dumbledore. Harry dan (Y/n) pastilah tadi melewatinya, begitu bersemangat ingin segera ke cermin sampai dia
tidak melihatnya.

"Saya... saya tidak melihat Anda, Sir."

"Aneh, bagaimana 'tidak kelihatan' membuatmu rabun," kata Dumbledore, dan Harry lega melihatnya tersenyum.

"Jadi," kata Dumbledore, turun dari meja untuk duduk di lantai bersama Harry dan (Y/n). "Kau dan (Y/n) seperti beratus-ratus orang lainnya sebelum kalian, telah menemukan kesenangan yang bisa didapat dari Cermin Tarsah."

"Kami tak tahu namanya begitu, Sir."

"Tapi kurasa sekarang kalian sudah menyadari apa yang dilakukan cermin itu?"

"Cermin itu... cermin itu memperlihatkan keluarga saya..."

"Dan memperlihatkan kepada Ron dirinya sebagai Ketua Murid. Memperlihatkan juga ibu kandung (Y/n)?"

"Bagaimana Anda tahu...?"

"Aku tak memerlukan jubah agar bisa tidak kelihatan," kata Dumbledore lembut. "Nah, sekarang, bisakah kalian pikirkan apa yang ditunjukkan Cermin Tarsah kepada kita semua?"

Harry menggeleng.

"Biar kujelaskan. Orang yang paling bahagia di dunia bisa menggunakan Cermin Tarsah seperti cermin biasa, yaitu, kalau dia memandang cermin itu dia hanya melihat dirinya seperti apa adanya. Apakah ini membantu?"

Harry berpikir. Kemudian dia berkata perlahan, "Cermin itu memperlihatkan kepada kita apa yang kita inginkan... apa saja yang kita inginkan..."

"Ya dan tidak," kata Dumbledore pelan.

"Cermin itu hanya menunjukkan hasrat hati kita yang paling mendalam. Kau, yang tidak pernah kenal keluargamu, melihat mereka berdiri mengelilingimu. Ronald Weasley yang selalu merasa minder dengan kesuksesan kakak-kakaknya, melihat dirinya berdiri sendiri, menjadi yang terbaik di antara mereka. Dan terakhir, (Y/n) yang kehilangan ibunya sama sepertimu, Harry. Bagaimanapun juga, cermin ini tidak memberi kita baik pengetahuan maupun kebenaran. Banyak orang sudah tersia-sia di depan cermin ini, terpesona oleh apa yang mereka lihat, atau jadi gila karenanya, karena tak tahu apakah yang diperlihatkan cermin itu nyata atau bahkan mungkin ilusi."

(Y/n) menjadi tidak enak dengan kepala sekolahnya.

"Besok cermin ini akan dipindahkan ke tempat baru. Harry dan (Y/n), aku meminta kalian agar tidak mencarinya lagi. Jika suatu kali nanti kalian kebetulan melihatnya lagi, kalian sudah siap. Tak ada gunanya memikirkan impian berlama-lama sampai lupa hidup, ingat itu. Nah, sekarang bagaimana kalau kalian pakai lagi jubah istimewa itu dan pergi tidur?"

Harry bangkit. "Sir—Profesor Dumbledore? Boleh saya bertanya sesuatu?"

"Jelas, kau baru saja bertanya." Dumbledore tersenyum.

"Tapi kau boleh tanya satu hal lagi."

"Apa yang Anda lihat kalau Anda memandang cermin itu?"

"Aku? Aku melihat diriku memegang sepasang kaus kaki wol tebal."

Harry dan (Y/n) melongo.

"Semua orang selalu membutuhkan kaus kaki baru," kata Dumbledore. "Natal sudah berlalu lagi dan aku tak dapat kaus kaki sepasang pun. Orang-orang bersikeras memberiku buku."

~~~ Bersambung ~~~

The Daughter of A Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang