Athar 04

153 6 0
                                    

Haii,

Selamat datang di lapak ku.

Selamat datang di lapak Athar.

Semoga suka ya.

Jangan lupa tinggalin jejak ya.

-Happy reading-

"Naila? belum pulang?" pertanyaan itu Naila dengar ketika ia baru saja melewati ruang kepala sekolah. Gadis itu membalikkan tubuhnya.

"Belum pulang, Kak?" tanya Naila balik. Tangan kanan Naila masih tetap berada di pundak sebelah kiri. Naila mencoba mengatur nafasnya ketika Athar menatapnya.

Pertengahan mapel terakhir tadi ia memang di panggil salah satu murid dari kelas lain untuk ke ruang kepala sekolah saat jam pulang sekolah tiba. Pembahasannya masih sama, dia mau ikut olimpiade atau tidak. Dan satu lagi, ternyata Papanya baru saja menelfon Pak Arman.

"L-lo kenapa ngeliatin gue kayak gitu?"

Athar berjalan mendekat. "Tangan lo kenapa gitu terus dari tadi?"

Mampus ketahuan.

"E.. Nggak papa kok. Ini gue cuma agak pegel aja bagian pundak sama leher." Naila langsung menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

Athar masih menatapnya, ia lalu melepas jaketnya. Mengarahkan jaketnya ke belakang Naila, lalu ia sampirkan di kedua pundak Naila.

"Seragam lo sobek," ucapnya pelan.

Naila memalingkan tatapannya, ia merasa malu. Niatnya pulang paling akhir adalah supaya tidak ada lagi murid di sekolah selain  murid yang mengikuti ekstrakurikuler.

Tapi, rupanya masih ada satu manusia disini.

"Lo pulang naik apa?" tanya Athar.

"Bis,"

"Tapi kayaknya gue telat deh, jam segini mana ada bis lewat." imbuhnya.

"Lo gue antar pulang," ucap Athar.

"Nggak usah, gue mau jalan kaki aja." tolak Naila.

"Nggak ada penolakan, lo tetap gue antar pulang. Sekarang, ayo kita ke parkiran dan gue anterin lo sampai rumah dengan selamat." tangan Athar kini melingkar di pundak Naila, mereka mulai berjalan melewati koridor yang sepi.

Sepanjang perjalanan mereka hanya diam, Naila merasa ada yang aneh dengan Athar. Athar yang biasanya cerewet jika bertemu dengannya, kini hanya berjalan dengan mulut yang diam dan tatapan yang lurus ke depan. Hingga tak terasa kini mereka sudah sampai diparkiran.

"Lo ada hubungan apa sama Dania?" pertanyaan itu keluar dari mulut Naila, gadis itu menatap punggung Athar yang kini tengah mengambil helm untuknya.

"Nggak ada hubungan apa-apa,"

Athar memakaikan helm ke kepala Naila, tidak lupa ia juga mengaitkan pengait helm tersebut. Kemudian, ia lalu mengambil helm yang akan ia pakai.

"Siapa yang ngerobek seragam lo?" tanya Athar, gadis di depannya hanya diam menatapnya.

"Dania kan?" tebak laki-laki itu, tak menjawab lagi, Naila kini memalingkan tatapannya.

"Nggak jawab berarti bener,"

Athar mengeluarkan motornya dari parkiran, ia lalu menstater motor nya dan disusul Naila naik di belakangnya.

***

Motor Athar kini berhenti di depan rumah, rumah sederhana yang mempunyai pelataran luas di depannya. Rumah itu adalah rumah Naila. Pelataran sebelah kanan diisi dengan beberapa tanaman yang tumbuh dengan segar, sedangkan pelataran sebelah kiri hanya ada kursi panjang.

Naila turun dari motor, gadis itu melepas helm nya dan merapikan rambutnya.

"Thanks ya, Kak, udah nganterin gue pulang." ucap Naila.

Athar ikut melepas helmnya, ia lalu menyugar rambutnya ke belakang.

"Mama lo dulu ngidam gula ya?" pertanyaan itu seketika keluar dari mulut Athar. Cowok itu masih dengan posisi duduk di motor, menatap Naila dengan tangan yang menyangga dagunya.

Naila mengerutkan dahinya. "Hah?kenapa?"

"Soalnya lo manis banget, pengen gue makan."

Naila menunduk, gadis itu mencoba menahan senyumnya. Sumpah, kalau aja cowok itu nggak ada di depannya, mungkin ia sudah jingkrak-jingkrak sekarang.

Naila mengangkat wajahnya, mencoba menetralkan mukanya. Ia tidak akan termakan gombalan buaya seperti dia.

"Nggak usah gombal deh, Kak."

"Siapa yang gombal, gue beneran." tangan Athar terulur ke kepala Naila, lagi-lagi, cowok itu kembali mengacak-acak rambut Naila.

"Ih, Kak Athar, berantakan!" saking geramnya, Naila mencubit lengan Athar yang mengacak rambutnya.

"Akhh, sakit, Nai." ringis Athar. Cowok itu kemudian mengusap-usap bekas cubitan Naila.

"Pulang sana."

"Lo ngusir gue?"

"Iya."

"Ya udah, gue pulang. Lo jangan kangen ya." goda nya sambil menaik turunkan alisnya.

"Nggak bakal."

Athar memakai kembali helmnya, dengan kaca helm yang masih terbuka. "Sampai ketemu besok Nainai sayang,"

***

"DEFIAA.."

Teriakan cowok itu langsung memenuhi satu ruangan saat baru saja masuk. Tante Rani yang sedari tadi tenang menonton televisi, kini menutup kedua kupingnya menggunakan tangan.

"Kamu kenapa teriak-teriak sih, Thar?" Tante Rani kini beralih menatap Athar yang berdiri tidak jauh darinya.

Ya, yang teriak-teriak tadi adalah Athar.

"Defia dimana, Tan?" tanpa menjawab pertanyaan dari Tante nya, Athar justru malah bertanya balik.

"Ada tuh di kamar masih tidur."

Mendengar jawaban Tante Rani, Athar langsung berlari menuju kamar Defia.

"Awas ya, Thar kalau Defia kebangun terus sampai nangis." ucap Tante Rani sedikit teriak, karena Athar sudah hilang masuk ke kamar Defia.

Athar sekarang sudah berada di kamar Defia, ia berjalan menuju ke tempat tidur bayi yang ada di kamar tersebut.

"Eh, Fia udah bangun ternyata," ucapnya. "Pinter banget sih nggak nangis,"

Athar kini mengambil Defia dari tempat tidur bayi lalu menggendongnya. Ia membawa Defia ke sofa yang ada di kamar tersebut lalu memangkunya.

Defia adalah anak Tante Rani dan Om Daniel, otomatis Defia adalah keponakan Athar. Tapi, Defia sudah Athar anggap seperti adiknya sendiri, saking sayang nya. Bukan hanya sayang, Athar selalu saja gemas dengan bayi itu, bagaimana tidak, Defia bayi perempuan yang baru saja berumur satu tahun itu mempunyai mata bulat, kulit putih, dan juga pipi yang caby, membuat siapa saja yang melihat bayi itu ingin mencubit pipinya.

Seperti sekarang, Athar sedang menidurkan Defia di pahanya lalu menciumi kedua pipi bayi itu berulang kali. Tanpa menangis, bayi tersebut malah tertawa.

"Fia," panggil Athar pelan.

"Hari ini Kakak seneng banget," seperti paham dengan apa yang Athar katakan, Defia kini menatapnya dengan serius.

Tidak melanjutkan ucapannya lagi, kini tangannya sudah bermain dengan pipi caby Defia.

"Athar, tadi Papa kamu-"

Belum sempat Tante Rani melanjutkan, ucapannya sudah di potong Athar terlebih dahulu

"Kalau Tante mau bicara soal Papa, Athar udah tahu."

Suasana yang tadinya ceria, kini hening kembali. Tidak ada yang mengucapkan kata lagi setelah itu. Athar kini hanya tersenyum menatap Defia, jarinya sedang memainkan bibir bayi tersebut.

Tante Rani mulai mendekat, berdiri di samping Athar. Tangannya mulai mengelus surai hitam milik Athar.

"Tante tanya aja dulu ke Papa, dia bisa pulang nggak nanti,"




07-07-22

AtharTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang