____________________
Seperti yang Jean ucapkan, kini Naren tengah berada didalam kamarnya dengan satu piring bubur yang sudah setengah jam ia biarkan begitu saja diatas nakasnya. Rasanya sangat tidak selera untuk memasukkan barang sesendok pun kedalam mulutnya. Takut jika nanti ia akan kembali memuntahkan isi perutnya seperti beberapa jam yang lalu.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Masing-masing dari mereka berada di kamarnya. Sejak tadi pun Naren sama sekali tidak berniat untuk sekedar mencicipi bubur itu. Sudah bisa dipastikan jika nanti rasanya begitu hambar. Hal yang sangat Naren tidak sukai.
Terdengar dari luar suara hujan yang turun dari langit itupun mampu membuat hawa dingin kini masuk menusuk ke kulit pemuda yang tengah duduk itu.
Biasanya disaat seperti ini, nenek selalu membuatkannya minuman hangat untuk mengurangi rasa dingin ini. Namun sepertinya berbeda dengan sekarang. Tidak akan ada lagi orang yang telaten membuatkannya minuman seperti itu. Sekalipun ada, pasti suasananya sangat berbeda.
Naren duduk di bibir ranjang dengan kepala yang ia senderkan dengan tembok yang tepat berada dibelakangnya. Malam yang membosankan, seperti malam-malam sebelumnya.
Hanya berada didalam kamar, tanpa kegiatan apapun yang ia lakukan. Ingin belajar, rasanya begitu pening dikepala. Pemuda itu tidak ingin memaksakan jika nantinya akan membuat dirinya bertambah sakit lagi.
Rumah ini, rumah yang selalu menjadi saksi suka dan dukanya bersama dengan sang kakak, hal yang sangat ia sukai. Namun tentu saja didalam hatinya terbesit sebuah rindu dengan kedua orang tuanya.
Ayah, pemuda itu merindukan sosok berbadan tegap yang sudah berhari-hari tidak ia lihat lagi. Ingin sekali rasanya berkunjung barang lima detik pun. Tak apa, asalkan ia bisa melihat wajah ayahnya dan juga mengobrol kecil seperti beberapa hari yang lalu disaat dirinya pergi membeli buku di toko.
Tidak pernah terduga sebelumnya jika ayah masih merindukannya. Naren ingat ucapan pria itu yang ia bilang jika dirinya benar-benar rindu dengan kedua putranya. Bisa Naren simpulkan dari perkataan ayah yang saat itu menanyakan bagaimana kabar keduanya dirumah ini.
Naren ingin sesekali mengajak Jean untuk pergi kerumah itu, rumah yang telah lama tidak pernah ia kunjungi lagi. Rumah yang menjadi saksi bisu bagaimana bahagianya keluarga mereka. Lengkap, tanpa ada satupun yang hilang.
Rasanya seperti kemarin ia masih mengingat bagaimana bunda nya memotong kuku disaat malam hari tepatnya ia ingin pergi ke sekolah keesokannya.
Di peluk, di suapi, dibangunkan pagi hari. Semuanya tidak ada satupun yang ia lupakan dan juga tidak akan pernah ada yang bisa ia lupakan. Semua itu sangatlah berharga dihidupnya.
Berbeda drastis seperti saat ini. Bahkan saja untuk makan, Naren seringkali bingung darimana kakaknya akan bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka? Sedangkan uang peninggalan nenek tentu saja kurang untuk biaya hidup mereka.
Haruskah bekerja? Tapi tentu saja dirinya tidak akan pernah diizinkan oleh Jean. Mau sekeras apapun ia memaksa, kakaknya tentu saja tidak akan membiarkannya yang tengah sakit bekerja diluar sana.
Naren membaringkan tubuhnya. Ditatapnya langit-langit kamar yang sama sekali tidak ada menarik-menariknya.
Suasana hujan diluar sana, membuat pemuda itu perlahan mengantuk. Ia ingin mengistirahatkan tubuhnya untuk saat ini. Ia harap, keesokannya tiada hari tanpa masalah seperti yang dihadapi pagi tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harapan Kecil || Jaemin ✓
Dla nastolatkówMenaruh kepercayaan kepada manusia adalah sebuah kesalahan. Sebuah harapan kecil yang ditaruh kepada seseorang yang sangat ia percayai, nyatanya itu semua hanyalah omong kosong belaka. Dengan begitu cepat, semuanya berubah. _______ Lokal ver Start...