Keping 22 : Menolak Cemburu

276 57 13
                                    

happy reading

-🐸🐣-

.

.

Jangan bayangkan bakalan ada asap jika tak ada api, atau bakalan ada tawa jika tak ada uang, eh.

Jelas selalu ada sebab sebelum akibat muncul. Pasti selalu ada alasan sebelum sikap diambil. Walau terkadang, sebagai manusia, alasan sering kali dikebelakangkan, dianggap tak penting.

Senandung sebenarnya tak tahu kenapa ia merasa mendadak tak enak hati dengan keberadaan Arumi, juga tak tahu kenapa mendadak marah ketika Gara terlihat begitu ramah berbicara pada Arumi.

Namun karena ia telah mengambil sikap untuk berdiri dari duduknya, membuka pembicaraan secara formal dan tak memperlihatkan pada Arumi kalau Gara dan dirinya bukan hanya sekadar pengunjung dan dokter, maka Senandung tak bisa mundur lagi dan pura-pura bodoh.

Gadis ayu itu harus terus maju, sekali ia berlagak formal, ia tak bisa untuk tiba-tiba sok akrab dan dekat, duduk kembali, lalu membangun percakapan.

Senandung sudah siap dengan ancang-ancangnya hendak meninggalkan Arumi dan Gara. Sementara Gara yang masih heran usai mencerna sikap dingin dan kalimat formal Senandung jadi lupa ingin menyampaikan apa pada Arumi.

Kebetulannya, hanya beberapa detik sebelum langkah Senandung menjauh dari Gara dan Arumi, telepon genggam milik Arumi bergetar. Gadis anggun dengan terusan selutut itu tak bisa membuang waktunya lebih lama lagi demi menunggu jawaban Gara untuk menjelaskan siapa Senandung sebenarnya.

"Eh Gara, lo sambung dulu aja bengong lo kalo emang lo masih mau bengong. Mami gue udah manggil nih. Kayaknya medical chek-up si Mami udah selesai." Arumi bersuara ramah, menatap Gara sebentar untuk kemudian mengambil telepon genggamnya, mengecek siapa yang menghubunginya, "benerkan si Mami yang nelepon."

Gara mengangguk tanpa mengeluarkan suara, merespon kalimat Arumi dengan gerakan kepala. Tapi matanya masih menatap heran ke arah Senandung yang berdiri kaku tak jauh darinya. Masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri kenapa gadis itu mendadak berubah.

Dan Senandung, seperti apa pun ia berencana, mau ingin segera meninggalkan Gara dan Arumi, mau masuk gedung saja dan tak peduli dengan apa yang terjadi, nyatanya gadis ayu itu masih tetap menahan langkah kakinya, berdiri bodoh tanpa suara. Penasaran pada apa yang akan dilakukan Arumi. Sekilas lupa dengan apa itu harga diri perempuan.

Tapi Arumi yang memang datang ke rumah sakit untuk menjemput ibunya tak lagi memperpanjang keberadaannya bersama Gara, tanpa peduli dan melihat Senandung sedikit pun, Arumi lebih dulu mengayun langkahnya menjauhi Gara, berteriak lantang sambil melambai samar, "kapan-kapan kita jumpa lagi ya, gue duluan, bye."

Gara tak perlu membalas teriakan teman SMAnya itu karena ia tahu Arumi yang berjalan semakin jauh tak mungkin akan mendengar kalimatnya. Mata tajamnya hanya fokus pada Senandung, gadis mungil berjas dokter dengan raut wajah membengkak bak kehabisan oksigen yang kini tengah berdiri di depannya sambil memelintir ujung-ujung jari.

"Tapi katanya masih banyak urusan, kenapa masih berdiri di situ? Nggak masuk ke gedung lagi?" Gara membuka suaranya untuk pertama kali usai terdiam cukup lama, mengoceh penuh percaya diri. Tersenyum miring ke arah Senandung. "Duluan si Arumi yang pergi dari pada kamu."

Senandung tahu ucapan Gara tertuju untuknya, tapi, karena hati gadis itu merasa tak salah sama sekali dan yang harus merasa bersalah itu adalah Gara, dengan pipi menggelembung Senandung menimpali sinis kalimat Gara, hanya saja tidak untuk menjawab pertanyaan pemuda tampan itu, melainkan untuk meniru gaya si tampan berbicara. "Lo Arumi?"

Senandung-SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang