Keping 58 : Bukan Bidadari

271 32 6
                                    

happy reading

-🐸🐣-

.

.

Dulu-dulu juga sudah diajarkan bahwa di mata Penguasa Semesta, tidak ada usaha yang sia-sia. Sungguh Allah, Sang Maha Adil benar-benar melihat dan menyaksikan setiap perjuangan hamba-hambaNya.

Masalahnya inti segala usaha, perjuangan atau bahkan doa-doa itu bukan terletak pada hasil akhirnya saja, sebab jika patokannya adalah hasil akhir, maka tak akan berarti usaha apa pun yang dilakukan seluruh manusia kalau begitu.

Karena bagi Allah, jika Dia berkehendak terhadap makhlukNya, Dia cukup mengatakan Kun, lalu terjadilah semua apa yang Dia mau tanpa ada satu pun makhluk bumi dan langit yang bisa mencampuri kehendakNya walau sekeras apa pun mereka berusaha, berjuang, atau berdoa.

Ayub sakit berkepanjangan, Ya'qub buta menangisi Yusuf yang dikabarkan dimakan srigala, kekalahan ditanggung pasukan muslimin usai perang Uhud berkecamuk, Nuh ditertawai karena bahtera raksasa yang dibuatnya atas kehendak Penguasa Langit, Maryam terasing sebab janin tanpa ayah yang dititipi dirahimnya, bahkan tanah Al-aqsha hingga kini tak kunjung menikmati kebebasannya, kesemuanya jelas mengisyaratkan bahwa bukan hasil akhir yang penting.

Prosesnya, perjuangannya, doa-doanya, lalu kesabaran yang mengiringinya, keikhlasan yang menyertainya, keberanian, rasa percaya bahwa Allah dekat dan tak pernah menzalimi, itu yang menjadi inti dari kalimat bahwa Allah tak pernah menyia-nyiakan setiap usaha hambaNya.

Urusan hasil akhir mutlak milik Allah. Gampang bagi Allah untuk melakukan apa pun pada ciptaanNya. Bahkan sekelas memerintahkan laut terbelah via tongkat Musa adalah hal kecil bagi Allah, apalah lagi jika hanya mengurus urusan satu atau dua orang saja. Tapi Maha Adilnya Allah, setiap helaan perjuangan, setiap niat tulus dalam pengharapan hamba-hambaNya, itu yang akan menjadi bahan memberatkan rahmat-kasihNya. Dan itu penting dalam menentukan ke mana hasil akhir akan bermuara.

Sungguh bagian itu lekat di benak Senandung sejak pertama kali ia mengetahui tentang hal tersebut dari ustazahnya.

Lalu kini, dengan wajah kaku tanpa ekspresi, wanita ayu itu berdiri di hadapan cermin. Mematutkan jilbab moka pekatnya sebagai pelengkap penampilannya bertoga.

Senandung tahu persis seperti apa pertarungannya dengan keadaan untuk bisa mendapatkan kesempatan menjadi seorang dokter. Beasiswa kampus adalah bukti bahwa ia tak pernah berkhianat pada amanah orang tua dan ustad-ustazahnya.

Meski dipertengahan perjuangannya menggapai asa Gara datang dan merecoki total hidupnya, Senandung ternyata tak kehilangan pijakan.

Ia tetap memegang teguh prinsip bahwa usaha adalah miliknya dan ketentuan milik Tuhannya. Bahwa ia boleh lelah dengan keadaan namun ia tak boleh menyerah. Dan bahwa tidak ada kesia-siaan saat semua diperjuangkan lalu dikembalikan pada Pemilik Semesta.

Satu jam lagi Senandung akan mengikuti prosesi wisuda untuk mengokohkan gelarnya. Dirinya sengaja menginap di rumah Wesa karena ingin berangkat ke kampus dari sana.

Tapi tidak seperti momen menginap biasanya, kali ini Senandung tak memberi Gara ruang untuk ikut menginap. Wanita berparas ayu itu hanya membolehkan Gara datang saat pagi hari, mengantarnya ke kampus.

"Ibun udah siap dari setengah jam yang lalu Nduk. Kamunya kenapa belum siap juga? Apa nggak telat nanti?"

"Tinggal pasang jilbab ini lagi kok Bun." Senandung mengalihkan pandangannya ke wajah Wesa yang juga memantul di cermin.

Wesa maju mendekati sulungnya. Ikut merapikan jilbab sang putri. "Jadi dokter juga akhirnya anak ibun. Alhamdulillah. Ibun bangga Nduk. Andai ayahmu masih ada di-"

Senandung-SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang