happy reading
-🐸🐣-
.
-uma minta maaf atas jeda yang lama, teman. Baca pelan-pelan aja, sesantainya. Uma up keping 57 dan 58 sekaligus. Semoga masih berkenan membacanya-
.
.
Udara malam terasa syahdu membelai. Hiruk pikuk kota di bawah sini bak tak peduli bahwa matahari yang ada di atas sana sudah berganti jam dinas dengan bulan dan bintang-gemintang. Berkelip-kelip malu merayu langit agar tak meneteskan air.
Semakin gelap, semakin semarak. Pinggir jalan penuh sesak dengan lampu-lampu pedagang makanan dadakan. Ramai yang antre. Banyak yang berseliweran. Hidup.
Dan sebanyak yang berada di tepian jalanan, ternyata jauh lebih banyak yang mencumbu aspal dengan kendaraan bermotor. Roda empat atau dua tak ada beda, semuanya sibuk berpacu demi mencapai tujuan masing-masing. Gara, tentu menjadi satu di antara mereka. Mengendalikan laju motornya dengan sangat hati-hati, sadar diri bahwa Senandung yang kini dibawanya tengah menahan isak iba hati.
"Sebentar lagi kita sampai Sena." Gara mengeraskan suaranya. Ia tahu kalau Senandung pasti tak begitu mendengar ucapannya. Helmnya nangkring di kepala si ayu soalnya. Tapi ia tetap ingin bicara. "Nanti di sana kamu bisa menangis sepuasmu tanpa harus malu diliatin orang-orang."
Senandung tahu Gara tengah berbicara padanya kini, tapi jujur, suara angin jauh lebih terdengar jelas dibandingkan suara Gara. Jadi dari pada balas berteriak, Senandung memilih mencengkram jaket Gara, memberi jawaban isyarat. Berharap Gara tak perlu berbicara dulu, karena ucapan Gara tak terdengar jelas olehnya.
Hanya menghabiskan sekitar dua puluh lima menit, Gara menghentikan laju motornya. Berkata dengan penuh jumawa sambil merentangkan dua tangannya, "kita sampai Sena."
"Gara tangannya jangan direntang! Nanti kita jatuh!" Senandung terkejut. Lupa cara berlemah lembut. Reflek memukul lengan Gara.
Gara sigap kembali ke posisi awal. Lalu tertawa setelahnya.
Adalah hamparan luas jalanan beraspal yang terkurung kawat tinggi berjalin. Dan di tengahnya berdiri kokoh bangunan tiga lantai dengan lampu yang menyala terang benderang.
Suasana di sekitar bangunan itu sunyi. Satu-satunya nada yang terdengar hanya desingan angin yang mengalun lembut.
Jalan aspal berkelok yang ada di dalam kawat tinggi berjalin bak barikade pembatas itu sangat akrab bagi Gara. Bahkan dibanding rumahnya, Gara lebih banyak menghabiskan waktunya di sana.
"Kita di mana ini?" Senandung turun perlahan dari motor. Matanya menatap lurus tempat asing yang ada di hadapannya. Memberikan helm pada Gara tanpa mengalihkan pandangan ke arah pemuda itu.
"Di markas timku. Tempat pertama kali aku kenal Bang Romi dan yang lainnya."
"Sepi sekali. Nggak ada yang tugas 'kah di dalam?"
"Ada." Gara menatap Senandung hangat, sementara yang ditatap masih fokus menebar pandang ke seberang. "Beberapa yang jaga malam tidur di situ kok sampai pagi."
"Gara pernah?" kali ini Senandung mengalihkan wajahnya ke arah Gara.
"Tidur di sana?" Gara menepuk pelan dadanya. Membenarkan kerutan pada jaket.
Senandung mengangguk cepat.
"Pernah dong." Dengan jumawa Gara tertawa bangga. "Aku pernah tidur di sana. Dulu-dulu sering malah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung-Surga
General Fiction[CERITA KE 4] 🐸🐥 Kategori : baper berkah Ketika dia yang mati-matian menentang keluarganya demi mewujudkan mimpi dipertemukan dengan dia yang mati-matian mewujudkan mimpi demi keluarganya. . . Start : 7 Maret 2022 End : 9 Juli 2024