happy reading
-🐸🐣-
.
.
Sampai saat ini, pukul enam lewat lima belas pagi, Gara tak sedikitpun menggerakkan lidahnya untuk bertanya kenapa Senandung tiba-tiba berteriak dan menyuruhnya jalan cepat. Padahal ia sungguh-sungguh penasaran dengan alasan yang ada di balik teriakan sang dara.
Lagian, bagaimana mungkin ia akan bertanya sekarang, Senandung terlihat lebih mirip wiper mobil saat hujan kabut dari pada manusia. Bergerak terus dari depan ke belakang, dari belakang ke depan, mondar-mandir, bawa baju, tas, buku, bawa kantong plastik, map tebal, bicara sendiri sambil mengeluarkan kata yang mungkin hanya Sang Pencipta gadis itu yang tahu apa yang tengah diucapkan.
Di sela-sela Senandung yang terlihat aktif, jangan lupakan Dika yang juga tak kalah lebih aktif. Remaja itu pakai kancing seragamnya sambil jalan, sisir rambut sambil menyiapkan buku, dan sesekali merapal nama Wesa, bertanya di mana letak kaus kakinya yang baru, soalnya yang ada di dekat sepatunya kini beda warna semua. Putih-butek, putih-kuning, putih siluman.
"Gara, kamu kalau mau sarapan, langsung aja sarapan ya, jangan tunggu Sena ataupun Dika. Mereka nanti paling sarapannya di ujung waktu. Ibun udah buat bubur kacang ijo pulang dari mesjid tadi. Ada di meja makan, ambil saja sendiri." Wesa tersenyum ramah, berbicara pada menantunya yang kini duduk sendiri di sofa ruang tamu, ditangan ibu tua itu tak lupa ada bungkusan kaus kaki baru untuk Dika.
Gara mengangguk sopan, "baik Bun. Nanti kalau aku lapar, aku akan ke meja makan buat sarapan."
"Oh ya, kalau habis sarapan kamu mau antar Sena ke rumah sakit, antarnya pakai mobil aja ya. Ibun takut kalau kamu bawa dia pakai motor, pagi-pagi begini jalanan ramai. Kesenggol dikit bisa oleng kalian." Wesa memancing Gara, sedikit susah menahan tawa. Sengaja sekali. Ketara niatnya.
"Aku- aku- Bun? Aku ngantar Sena ke rumah sakit?" Gara menunjuk dadanya ragu, "ngantar Sena?"
Wesa mengangguk mantap, "kalau bukan kamu siapa lagi? Nggak mungkin dia boncengan di gerobak Mang toprak 'kan?"
Mendengar kalimat Wesa barusan, Gara langsung berlari ke ruang belakang, cepat mengambil sarapannya dan berniat untuk memanaskan mesin mobil setelah selesai sarapan.
...
Apa yang Wesa rencanakan sejauh ini berjalan mulus dan lancar. Ibu itu ingin putrinya diantar Gara, memberi waktu pada dua anaknya itu agar lebih dekat. Tak perlu lagi caggung-canggungan.
Bahkan saat Dika tahu Gara memanaskan mesin mobil dengan tujuan untuk mengantar Senandung, dan merengek minta di antar ke sekolah pakai mobil juga, Wesa justru sigap mengeluarkan sepeda yang terparkir di sudut teras untuk Dika.
"Ibun... aku mau naik mobil sama Bang Gara, mau di antar pakai mobil. Tempat Mbak Sena dan sekolahku 'kan satu arah. Kenapa Ibun ngelarang aku ikut ama Bang Gara?" Dika memegang daster bunga-bunga Wesa, memelas memasang wajah manja.
"Pakai sepeda aja. Lebih sehat dan dijamin menyegarkan." Wesa membalas datar rengekan putranya. "Ada banyak angin yang bisa menemanimu jika kamu naik sepeda."
"Nggak mau naik sepeda kalau gitu, nanti aku masuk angin."
"Naik sepeda." Wesa menunjuk sepeda sambil menatap Dika tajam.
"Tapi turun dari mobil di depan gerbang sekolah itu keren lho Bun. Orang-orang pasti penasaran siapa yang ngantar aku." Dika masih berjuang untuk membujuk Wesa.
"Pakai sepeda aja. Niat pamer akan membutakan otak menyerap pelajaran." Wesa selalu punya jawaban penyanggah, tak memberi celah untuk putranya menang.
"Tapi Bun, aku 'kan juga pengen naik mobil kayak Mbak Sena, aku—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung-Surga
Ficción General[CERITA KE 4] 🐸🐥 Kategori : baper berkah Ketika dia yang mati-matian menentang keluarganya demi mewujudkan mimpi dipertemukan dengan dia yang mati-matian mewujudkan mimpi demi keluarganya. . . Start : 7 Maret 2022 End : 9 Juli 2024