happy reading
-🐸🐣-
.
.
Setelah sambungan telepon ditutup, baik Gara maupun Senandung kembali melanjutkan aktivitas mereka. Sayangnya, entah bagaimana sibuknya Senandung di sana, yang jelas di sini Gara susah payah menahan senyumnya.
Pemuda itu akan menemui Romi dan yang lainnya sebentar lagi. Ia tahu persis kalau ia setengah blingsetan seperti sekarang ia akan jadi bulan-bulanan di tempat latihan. Namun mau bagaimana lagi, dipanggil dengan sapaan sayang oleh Senandung rasanya agak terlalu membahagiakan.
Siapa Senandung tentu saja pemuda tinggi bersorot mata tajam itu tahu. Wanitanya itu bukan sosok yang akan dengan gampang menggerakkan lidah untuk memanggilnya sayang. Maka hari ini, meski dari sambungan telepon, mendengar Senandung menyapanya seperti itu, Gara tak tahu lagi apa bedanya disengat sinar mentari dan disengat ujung ekor kalajengking, keduanya seperti sama-sama tak punya efek untuknya. Sapaan Senandung jauh lebih meresahkan soalnya.
Gara baru saja sampai di tempat latihan. Suara deru mesin motor dengan kendali kaku memekaki gendang telinganya saat pemuda itu menepikan motornya di parkiran ujung sambil perlahan melepaskan pelindung kepalanya.
"Tumben lo dateng udah lewat tengah hari men. Biasanya paling rajin nangkring di mari." Suara berat milik sosok yang Gara sudah kenal dari lama menyapanya hangat. Muncul di belakangnya dengan membawa dua buah helm.
"Oh, gue ada kuliah tadi Bang. Ini baru kelar." Gara menjawab santai. Mengunci pergerakan motornya. Berusaha memasang wajah normal.
"Lo kuliah? Sejak kapan?" Pria bersuara berat yang sudah tahunan kerja sebagai tukang parkir di arena bocah-bocah latihan motor itu menaikkan alisnya. Lalu mendekat pada Gara dua langkah kecil-kecil. "Anak motor versi kemajuan zaman lo ya. Mantap mantap."
Gara tertawa, lalu menggeleng pelan. "Biasa aja Bang. Gue cuman sedang berjuang hidup lebih baik."
"Jurusan apa yang lo ambil? Gue juga punya keponakan yang kuliah, kalau gue nggak salah dia ambil jurusan menghargai perasaan orang tanpa menyakiti perasaan diri sendiri."
Gara terdiam sejenak, lalu tertawa samar usai paham ucapan petugas parkir yang ada di hadapannya.
"Apa pun jurusan yang diambil, kalau nggak manusiain manusia, percuma kuliah." Si tukang parkir mengangguk takzim, "gitu kata keponakan gue."
Gara ikut mengangguk. Ternyata tak peduli siapa pun orangnya, jika ucapannya benar, maka itu memang benar adanya.
Siang menjelang sore ini Gara menemui apa yang waktu itu pernah Senandung katakan padanya, bukan siapa yang menyampaikannya yang penting, tapi apa yang disampaikan yang lebih utama. Jika itu benar, tidak masalah walau ucapan itu keluar dari mulut bocah lima tahun sekali pun. Hanya saja yang jelas, selama lidah seseorang menuturkan kebenaran, sungguh tutur kalimat itu sudah terencana oleh yang Maha Merencana untuk dapat didengar oleh telinga kita. Begitu mainnya.
"Cepet kalau gitu ngumpul ke arena, Romi dari tadi udah ngabsenin anak-anak. Juga, temen lo dua orang yang bawa umbul-umbul nama lo pake kertas kardus segede gaban juga udah dari tadi celingak-celinguk di sana." Si tukang parkir menghentikan diamnya Gara. Lanjut menyelesaikan tugasnya.
Gara bergegas mengambil langkah. Sambil berjalan, sambil kembali mengukir senyum di wajah. Barusan ingat Senandung soalnya, wanita ayu yang menjadiaknnya kunci surga.
Dua teman dengan kertas kardus sebesar semesta? Sungguh Gara tahu siapa mereka tanpa keraguan.
Tak butuh waktu lama bagi pemuda tinggi bersorot mata tajam itu untuk menyelesaikan persiapan latihannya, kini ia telah berdiri di belakang dua sahabatnya, Sakta dan Reyhan, tentu saja lengkap dengan pengaman lutut dan siku yang terpasang kokoh di tubuhnya. "Eh tumben duo ikan nggak megap-megap kepanasan keluar dari alam asal siang-siang begini. Nyariin siapa jauh-jauh ke mari ha?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung-Surga
Narrativa generale[CERITA KE 4] 🐸🐥 Kategori : baper berkah Ketika dia yang mati-matian menentang keluarganya demi mewujudkan mimpi dipertemukan dengan dia yang mati-matian mewujudkan mimpi demi keluarganya. . . Start : 7 Maret 2022 End : 9 Juli 2024