Keping 42 : Suami-Istri Sungguhan

335 63 11
                                    

happy reading

-🐸🐣-

.

.

Kemarin-kemarin, dihari-hari yang lalu, pada waktu-waktu itu, dengan segala daya dan upaya Senandung terus-terusan menyangkal rasanya, menganggap semua tentang Gara hanya biasa saja. Mungkin karena terlalu sering bersama makanya dekat, mungkin karena tinggal serumah makanya akrab. Hanya itu. Tidak lebih.

Ia tahu bahwa kedekatan Arumi dengan Gara berhasil membuatnya cemburu, tapi ia selalu ngeles pada dirinya sendiri dan menyatakan kalau kecemburuannya itu bukan karena ia suka pada Gara.

Terlalu lemah menurutnya, terlalu mustahil kalau ia suka pada Gara, lelaki asing yang memutuskan tali tasnya di taman alun-alun pusat kota lalu menyeretnya dalam sebuah ikatan pernikahan yang memusingkan kepala—akadnya sungguhan, maharnya beneran tapi hubungannya hanya sekadar kesepakatan.

Namun malam ini, usai telinganya mendengar langsung penuturan Laysa soal hubungan kesepakatan mereka yang harus segera diakhiri karena kondisi Gara yang tidak memungkinkan, barulah Senandung paham.

Seharusnya ia tak menyangkal rasanya sedari awal, seharusnya ia tak menghiraukannya begitu saja dan menganggap semua kecanggungan yang terjadi di antara dirinya dan Gara hanya hal biasa. Seharusnya ia tahu lebih cepat bahwa seperti apa dulu ia merasa untuk Fattan, seperti itu pulalah kini ia merasa untuk Gara, bahkan lebih.

Dan memang sudah sepantasnyalah rasanya untuk Gara harus lebih, sebab Gara memiliki kesempatan yang tak pernah Fattan miliki. Lelaki bersorot mata tajam itu menikahinya, tinggal serumah dengannya, dan mau bagaimana pun ia menyangkal, mereka sah.

Bagian terpenting yang dalam diam Senandung syukuri usai mendengar penuturan Laysa yang setuju untuk meniadakan kesepakatan mereka adalah ternyata Allah benar-benar baik padanya, tak membiarkannya mencintai seseorang tanpa mengikatnya dalam kehalalan terlebih dahulu.

Bayangkan jika sampai saat ini ia terus memupuk rasanya pada Fattan yang bukan suaminya, berapa lama hati gadis ayu itu harus bermaksiat pada Tuhannya? Berapa banyak ibadah yang rumpang tak sempurna karenanya? Berapa panjang daftar kelalaian yang tercipta karenanya? Ah, entahlah.

Halal dulu baru cinta, nampaknya Senandung akan terus bersyukur untuk hal itu. Ia akan malu jika tidak terus bersyukur karena Tuhannya ternyata benar-benar menjaga dirinya bahkan tanpa pernah ia sadari.

Sungguh bukan banyak koleksi mantan kekasih yang menandakan bahwa diri disayangi, juga sungguh bukan expert soal hubungan kasmaran saat belia yang menjadi sinyal bahwa nanti dikehidupan berumah tangga hari-hari akan selalu berseri. Semuanya tidak ada hubungan. Sama sekali tidak ada.

Justru yang semakin menjaga, itu yang akan semakin terjaga.

Pun jika setelah berjuang menjadi terhormat pada akhirnya dipertemukan dengan sosok yang sama sekali tak mengerti cara menghormati, jelas itu bukan karena Allah lupa dengan janjiNya untuk mempertemukan yang berusaha menjadi baik dengan yang baik-baik.

Sejatinya sebuah hubungan adalah ujian. Maka menjalaninya dengan cara yang Allah ridho akan mengantarkan perjuangan pada sebuah titik pemahaman, bahwa semakin besar pengorbanan semakin luas pula peluang menaklukkan ujian.

Sebab dalam hubungan yang Allah ridho, semuanya tak hanya berputar soal perkara aku cinta kamu dan kamu cinta aku saja, tapi lebih dari itu, di mana cintamu dan cintaku bisa mendekatkan cinta Allah pada kita.

Senandung masih merangkul pundak Gara dengan erat. Ia tak bersuara, tapi napasnya jelas terdengar tak tenang. Sama sekali tak tenang.

"Kamu kenapa Sena? Kenapa mendadak romantis gini?" Gara tak patuh pada Laysa. Ia tak tahan untuk tak bertanya. Baginya, Senandung yang seperti ini justru membuatnya merasa tak bisa hanya diam saja. "Sering-seringlah seperti ini ya, siapa tahu aku cepat sehat karenanya."

Senandung-SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang