Keping 54.5 : Segel Ketetapan Terbaik

372 41 10
                                    

happy reading

-🐸🐣-

.

.

Hanya di rumah makan, jika pesannya gulai kepala kakap, maka yang datang memang gulai kepala kakap. Tidak menyimpang. Tidak mendadak jadi bebek cabai ijo atau ayam pop tanpa alasan. Memang begitu mainnya, apa yang dimau, itu yang akan dikunyah.

Sayang, hidup ternyata tak sesempit seperti di rumah makan. Jadi tak perlu kaget jika telah meminta berkali-kali, pesanan tak kunjung datang. Sebab urusannya bukan lagi tentang apa yang dimau, melainkan tentang apa yang terbaik. Dan Pemilik Kehendak tahu persis soal bagian itu.

Lagi hebatnya, apa yang tak diingini, sering kali itu yang datang menghampiri. Yang tak pernah terpikirkan sebelumnya akan dilewati, itu yang rupa-rupanya terus dijalani dari hari kehari.

Lalu apakah semuanya akan membuat langit terasa runtuh dan matahari menggelap jika menjalani segala yang tak diingini? Ternyata tidak, meski kadang butuh perjuangan untuk melaluinya, meski juga butuh kesabaran dalam menghadapinya, ternyata pada akhirnya semua tetap akan dilewati dengan baik-baik saja. Setangguh itulah sebenarnya Penguasa Semesta mendesain keadaan hambaNya. Sungguh.

Senandung mana pernah tahu kalau ternyata pria berhelm yang enam tahun lalu meminjaminya jaket saat ia kehujanan dan sempat kesal kecipratan air genangan oleh si pemilik jaket adalah pria yang sama dengan yang kini menjadi suaminya.

Bahkan pertemuan mereka magrib kala itu meninggalkan kebingungan bagi Senandung. Ia pikir ia bertemu dengan orang iseng tak bertanggung jawab yang akan menyelakainya. Ternyata ia malah dipinjami jaket untuk menutupi seragam putihnya yang nyaris tembus pandang karena basah.

Setelah beberapa minggu berlalu usai pertemuan itu, Senandung terus berdiri lama di tempat yang sama dengan harapan akan berjumpa kembali dengan si pemilik jaket. Tapi hasilnya nihil. Setiap kali ia membawa jaket hitam itu untuk dikembalikan, setiap itu pula ia tak pernah lagi berjumpa dengan si pemilik jaket.

Dan ketika menyadari bahwa jaket itu tak pernah bertemu lagi dengan pemilik aslinya, bertahun-tahun lamanya Senandung melarang Senandika untuk memakai jaket tersebut. Si bungsu benar-benar tak dapat izin bahkan ketika itu hanya digunakan untuk bersua foto di teras rumah.

"Gara jangan memanfaatin momen ya. Gara nggak perlu ngakuin kalau jaket itu adalah jaket Gara hanya untuk memperindah keadaan." Senandung mendorong dengan keras bahu Gara agar lelaki tinggi bersorot mata tajam itu berhenti memepetnya. Ia tak punya pilihan lain selain membuat Gara menjauh karena wajah Gara yang begitu dekat dengan wajahnya membuatnya teramat gugup.

Gara kembali menyandarkan punggungnya kesandaran sofa saat sadar Senandung mendorongnya keras. Terkekeh pelan setelahnya sambil memiringkan wajah menatap sang istri yang ada di sampingnya. Sama sekali tak kesal pendekatannya tertolak.

"Kenapa ketawa? Gara malu ya ketahuan bohong?"

Gara menggeleng samar. "Kamu lucu kalau salting, Sena."

"Siapa yang salah tingkah hm?"

"Kamu." Gara merespon ligat, melipat tangannya ke dada dengan tatapan mata yang tak berpaling dari Senandung.

"Hati-hati kalau mau menyimpulkan ekspresi orang Gara. Nggak selamanya yang kelihatan di luar itu mencerminkan apa yang tersimpan di hati. Sena nggak salting! Titik! Gara harus tau itu!" Senandung mencak-mencak. Sayangnya ia tak sadar kalau kini pipinya terlihat lebih ranum dari yang sebelumnya. "Kenapa Sena harus salting saat Gara sama-samain Sena dengan jaket itu. Gara pikir Sena gam—"

Senandung-SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang