Keping 59 : Belajar Seumur-umur

295 32 10
                                    

happy reading

-🐸🐣-

.

.

Jelas saja siapa pemenang balap lari tempo lalu, bukan? Menemani Gara ke resepsi Arumi hanya satu dari tiga permintaan yang Gara tuntut pada Senandung jika wanita itu kalah.

Dan sialnya, baru satu tuntutan itu yang terwujud, Gara dan Senandung terlibat konflik receh pengantin muda. Berputar soal hal sepele namun menyulut kekesalan Senandung sampai ke level yang bertele-tele.

Senandung tak suka dikatakan anak kecil oleh teman-teman suaminya, dan semakin merasa risih saat sang suami membenarkan pendapat itu.

Usai sukses berdamai dengan rasa kesalnya, juga usai memaklumi kebenaran dalam pesan yang Wesa sampaikan padanya, tepat hari ini, dihari keilmuannya dipatenkan, wanita ayu itu memberanikan diri membalik keadaan.

Bahwa ia memang layak untuk melayangkan kata maaf. Bahwa ia akan sangat kelewatan jika terus-terusan perang dingin dengan suaminya. Dan bahwa ia harus berubah, jika ada yang tak ia suka, ia mesti mengomunikasikannya-membicarakannya baik-baik, bukan kesal lalu mendiamkan.

Satu tuntutan Gara terlaksana, satu keributan kecil tercipta. Namun untungnya setelah itu dibayar tunai dengan satu pengakuan maaf tanpa keegoisan. Mana di depan umum pula.

Tentu saja teman dan senior sejurusan yang selama ini mengenal Senandung baik secara langsung atau tidak langsung saling berbisik asyik. Tak menyangka kalau rekan mereka itu seberani itu.

"Aku kira si Senandung bakalan nikah ama Zayid entar, soal mereka kemana-mana berdua terus sejak dari maba."

"Senandung nggak ada lawan, kirain pendiam, ternyata mencinta dengan trabas-trobos. Ladang kurmaku tersayang nggak tuh?"

"Buat ce-cewek sebangsa junior kita, tirulah dia. Nggak bakal kiamat kok meminta maaf itu. Ya 'kan?"

"Oh jadi ini yang namanya diam-diam memabukkan?"

"Jantung si ladang kurma apa kabar? Butuh EKG 'kah?"

Dan lagi, dan masih terus berterbangan ocehan-ocehan tanpa makna dari bangku para peserta wisuda ulah penggalan pantun Senandung.

Sampai-sampai mereka lupa, selain Senandung masih ada mahasiswa lain yang harus didengar pidatonya.

...

Gara mengepal erat sepuluh jarinya di atas paha. Kamera sudah tak lagi menyorotnya, namun rasa darah terpompa kencang masih menyelimuti dadanya.

"Kamu aman Gara? Mau ibun carikan minum?"

Mata Gara reflek menatap Wesa.

"Lihatlah, wajahmu pucat sekali Nak." Wesa menyambung kalimatnya dengan nada tawa yang sulit disembunyikan. "Sena udah kelewatan ya?"

"Benar-benar kelewatan Bun."

"Tenang, nanti selesai acara ini ibun kasih dia pelajaran." Wesa melepas senyumnya. Senang menatap wajah pucat menantunya. "Pelajaran yang mana bagusnya ya Gara yang cocok atas tindakannya memamerkan kamu ke orang-orang? Ibun bingung, apa pelajaran matematika, apa pelajaran olah raga ya bagusnya?"

Gara tertawa halus. Ia sadar diri kalau Wesa sedang mengerjai salah tingkahnya kini. "Dua itu terlalu gampang untuknya Bun. Ibun nggak usah buang-buang waktu, biar aku saja yang langsung memberinya penghargaan."

"Penghargaan?" Wesa mengerutkan keningnya, "bukannya pelajaran Nak?"

"Eh, iya, pelajaran maksudku Bun."

Senandung-SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang