Keping 35 : Jemput Sena Kembali

356 62 25
                                    

happy reading

-🐸🐣-

.

.

Manusia punya batas untuk segala kemampuan yang mereka miliki. Tentu saja. Karena manusia sejatinya hanya makhluk ciptaan, dan tak lebih dari itu.

Sungguh sampai matahari digulung menjadi satu dengan bulan pun, status manusia tak akan pernah lebih dari itu. Hanya segelintir ciptaan dari banyaknya ciptaan yang diurus oleh Sang Maha Pencipta diseluas alam semesta. Benar-benar hanya segelintir dari segala yang ada.

Tapi hebatnya, yang segelintir ini ternyata dicipta dengan sebaik-baik bentuk, diramu dengan seelok-elok komposisi. Mulia derajatnya. Berarti kehadirannya.

Tak peduli seperti apa pun keadaan rupanya, bagaimana dialek bicaranya, semacam apa warna kulitnya dan dari sudut bumi mana ia berasal. Semua sama, semua benar-benar dicipta setara dalam KemahaadilanNya.

Raga, ruh, nafsu, akal pikiran, dan hati, selain manusia, Allah tak menciptakan yang selengkap itu untuk yang lainnya. Tidak pada malaikat, tumbuhan, hewan apalagi jin.

Lalu jika semua manusia dicipta setara, dikasihi Allah dan tetap dijamin rezeki-rezekinya terlepas seperti apa pun perlakuan mereka terhadap Tuhan pencipta mereka, bagian mana yang menjadi pembeda? Bagian mana yang bisa mengantarkan seorang manusia pada titik bahwa yang didapatkannya bukan hanya kasih Allah saja, tapi juga sayang, ridho dan naunganNya?

Itulah dia bagian di mana iman dan taqwa memegang kendali, sebuah keyakinan dan kepatuhan yang menjadi pemisah antara kesetaraan penciptaan yang ada. Yang mengantarkan jiwa pada derajat lebih mulia, yang membawa diri pada posisi lebih bermakna.

Dan sayangnya, mengaku beriman saja tanpa diuji coba setelahnya, bagi Allah juga itu belum ada apa-apanya. Bukankah keaslian emas itu didapat setelah ia dibakar? Dan bukankah kemurnian intan itu diperoleh setelah ia ditempa besi panas?

Jika pernah dengar kalimat bahwa ketika Allah menginginkan kebaikan untuk hambaNya maka Dia akan memudahkan sang hamba memahami urusan agamanya, maka ada satu lagi yang hampir mirip dengan penuturan kalimat tersebut, hampir serupa, tapi berbeda jalannya, apa itu? Sungguh, jika Allah menghendaki kebaikan untuk hambaNya, maka Dia akan menguji sang hamba dalam keimanannya.

Senandung belum makan sedari tadi, ia bahkan tak memasukkan setetes air pun ke kerongkongannya, hanya melepas dahaga secara sementara lewat wudu. Tapi kini di dalam taksi online yang ia pesan untuk kesekian kalinya, Senandung sama sekali tak menggerakkan lidahnya untuk mengumpat Sang Penguasa Semesta. Tidak satu kata umpatan pun terlompat. Tidak bertanya kenapa semua ini terjadi padanya, kenapa begini dan kenapa harus dia yang melewatinya.

Gadis ayu itu padahal sedang khawatir dilevel paling tinggi kini. Telepon Sakta barusan berhasil membuang semua harapan baiknya. Nada bicara teman suaminya itu tak menyiratkan kabar lega sedikit pun.

Namun ia masih bisa tersenyum saat ditanyai sang supir dan terus beristighfar tanpa henti. Benar-benar percaya bahwa apa pun yang terjadi, itulah yang memang Tuhannya kehendaki.

Senandung memburu langkahnya, mencari ruangan yang Sakta catatkan dikolom chattingan usai menyelesaikan akadnya dengan si supir taksi. Mengabaikan tanya rekan-rekan seperjuangannya yang berpapasan. Bahkan tak menemui Alana atau pun Zayid terlebih dahulu.

Unit rawat inap gedung C lantai tiga, ruangan Bougenville, dileretan koridor kiri dari pintu masuk, lorong khusus kamar VIP golongan I, pintu nomor 302, empat kamar sebelah kanan jika datang menggunakan lift, Senandung menuju ke sana.

Senandung-SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang