Keping 11 : Ladang Kurmamu

313 58 13
                                    

happy reading

-🐸🐣-

.

.

Setiap manusia punya alasan masing-masing dalam menjalani hidup. Dan setiap hidup yang dijalani selalu tak pernah diharapkan berujung dalam penderitaan. Siapa pun manusianya. Besar, kecil, tua, muda, lelaki, wanita, tiada beda, semuanya pasti inginkan bahagia.

Tapi tak banyak manusia yang sadar bahwa rasa bahagia, kelegaan hati, perasaan senang adalah pemberian, bukan hasil pencarian. Ia tak bisa ditemukan atau didapatkan, karena ia adalah titipan Tuhan. Yang jika Allah ridho maka Allah akan limpahkan, dan jika tidak, sungguh Allah tak pernah memberatkan.

Karenanya, ketika Ibrahim benar-benar memahami bahwa tiada ketenangan dan kebahagiaan selain pada apa-apa yang bersisian dengan Sang Rahman, ketika itu pula ia selalu memperingatkan istrinya, Wesa, untuk mengutamakan apa pun yang bisa mendekatkan hati pada Illahi.

Dan menurut Ibrahim... takarannya adalah getaran jiwa, bukan harta benda dunia.

"Mungkin Kang Masmu ini nggak bisa nemenin kamu dampingin Sena dan Dika sampe mereka dewasa, Dek. Tapi meskipun begitu, kamu harus yakin, kebesaran Allah tidak akan pernah terpengaruh dengan ada atau tidaknya Kang Mas. Jadi bersandarlah pada Allah saja, ajari anak-anak bahwa semua yang ada di dunia ini tak abadi. Jika inginkan kebahagiaan, maka mintalah pada Allah yang memiliki segala, minta tanpa lelah dan ikuti jalan Rasul-Nya. Kemudian resapilah Dek, resapi setiap getar pertanda cintaNya."

Wesa baru saja keluar dari rumah Pak Haji RW, memakai sandal dengan cepat sambil menyapu matanya kasar. Tidak ada yang tahu selain Penguasa Langit kalau kini otak Wesa tengah memutar ulang kalimat panjang suaminya, lengkap dan jelas. Tak kurang satu huruf pun. Dan itu sukses membuat maniknya berlinangan. Iba hati.

"Ibun kenapa buru-buru? Di rumah ada Mbak Sena 'kan?" Dika menyusul Wesa ke ambang pintu dengan ligat. "Kalo rumah kosong, nggak ada yang jaga, nggak apa Ibun buru-buru."

Wesa menunduk demi mendengar kalimat bungsunya, lalu mempercantik tampilan wajah agar tak ketahuan kalau ia tengah sendu, dan setelahnya menjawab asal tanya sang bungsu, "Ibun baru ingat kalau kopi abis, belum sempat beli. Nanti Pak Haji RW dan putranya kita kasih minum apa kalau bukan kopi? Mbakmu pasti nggak tau kopi di dapur lagi abis."

"Kasih goreng bakwan Mbak aja, Bun. Masukin dalam gelas terus seduh pakai minyak panas. 'Kan warnanya item tuh, persis kayak kopi. Soal rasa jangan Ibun ragukanlah, pasti sama, pahit nampol itu."

"Hush!" Wesa terkekeh pelan, memukul bahu Dika dengan kencang. Memasang senyum paling lebar. Menyembunyikan iba hatinya.

Si Ibun iba hati? Tentu saja, mana mungkin tidak. Meski ia mencoba untuk kuat dan semangat, ia tetap tak bisa menyembunyikan fakta bahwa setelah Senandung menikah nanti... anak gadisnya itu bukan lagi anak gadisnya. Sudah berpindah tangan, bertukar tumpuan.

Tapi tak masalah, bagi Wesa, iba hati sedikit bukanlah penghalang niatnya untuk terus menjalankan amanah sang suami, bersandar hanya pada ketetapan Illahi.

Ibu paruh baya itu menarik napasnya panjang, lalu bergumam pelan untuk dirinya sendiri, "Wesa menemukannya Mas, dan Wesa berharap ini pertandaNya. Kedatangan anak itu untuk meminta Sena kita berhasil menggetarkan aliran darah Wesa. Bolehkan Wesa memaksa hati untuk berbaik sangka kalau ini memang jalan dariNya? Karena sebelum-sebelumnya, tak pernah ada yang seperti anak itu Mas. Tak pernah ada."

Angin senja berembus mendamaikan, menyapa setiap inci kulit wajah Wesa dan Senandika tanpa henti. Mereka baru saja selesai bersepakat di rumah Pak Haji RW perihal Gara dan Senandung. Dan kini sedang berdiri di depan teras, menunggu pemilik rumah untuk keluar.

Senandung-SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang