Empat Puluh Satu

168 12 0
                                    

Jangan tanyakan apa yang membuat Ji Na membiarkan Jae Hyun mengekspansi bibirnya, menciptakan ciuman yang begitu memabukkan dan tak terelakkan sama sekali. Jangan. Karena, Ji Na sendiri pun tak tau jawabannya. Otot-ototnya bergerak dengan sendirinya, membawa bibirnya membalas ciuman Jae Hyun. Membawa kedua tangannya mengalung di leher Jae Hyun.

Yang Ji Na tau, ia masih begitu mencintai Jae Hyun. Ia mengakui bahwa ia merindukan pria itu begitu dalam. Lantas, kedua hal itu bersatu padu dan mendominasi seluruh akal logikanya. Keraguan yang terbersit dalam kepalanya seolah tersapu sejenak oleh rasa rindunya yang begitu menggebu. Begitu bibir Jae Hyun menyapa bibirnya, maka detik itu pula seluruh logikanya terkunci.

Keduanya sudah rehat selama beberapa kali, meraup oksigen sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat dan kembali menyambung reli panjang ciumannya. Sampai---

TING!

"Ow! Sorry,--"

Seseorang menginterupsi ciuman mereka, menyadarkan keduanya dari mabuk yang begitu kepayang. Membuat kedua pasang mata itu membulat, saling menatap dengan ekspresi terkejut.

"--did i ... interupt your...kiss?"

"Oh, nope. No. Ya, it's...it's okay," Ji Na tergagap, mendorong tubuh Jae Hyun, menciptakan jarak cukup lebar dan bergerak sangat kikuk. Ia hampir tak punya keberanian sama sekali untuk menatap kedua mata Jae Hyun setelah seluruh kesadarannya kumpul seratus persen. "H-how can i help you?"

"Yup. I'm looking for carnation flowers for my...."

Saat Ji Na bergerak melayani pelanggannya, menjauh menuju lemari pendingin berisi susunan-susunan bunganya, Jae Hyun masih tak bisa mengatur napasnya dengan baik. Pria itu memperhatikan punggung Ji Na dari kejauhan sambil berpikir keras, apa yang membuatnya begitu...tiba-tiba mencium Ji Na barusan?

Sial.

Jae Hyun menjambak rambutnya kuat. Menyesali tindakan sembrononya.

Bagaimana jika Ji Na salah paham dengan tindakannya barusan?

Bagaimana jika Ji Na tak mengerti bahwa ia ... ia maksudnya ... ia barusan mencium Ji Na karena ia merindukannya? Bukan karena nafsu atau sesuatu yang buruk lainnya.

"Yah, dasar Jae Hyun bodoh," pria itu memukul kepalanya sendiri, "tidak bisakah kau menahannya sebentar! Dia bisa salah paham!" gerutunya kesal.

"And, you...hmm...Sir?"

Jae Hyun menoleh, mendapati Ji Na memanggilnya dengan semburat kemerahan yang menguasai wajahnya.

Oh, lucu sekali, batin Jae Hyun terpesona.

"I mean, you...you can wait for a moment. Please, have a sit," Ji Na buru-buru melengos, menyembunyikan wajahnya yang semakin memerah.

Hal itu berhasil membuat Jae Hyun menahan umpatan; menahan gemas.

*

Ji Na sibuk mengetik, membuat catatan pesanan seorang wanita yang menginterupsi ciumannya dengan Jae Hyun barusan. Wanita itu memesan satu bucket bunga anyelir warna merah muda untuk perayaan kelulusan temannya besok lusa. Jadi, Ji Na menjanjikan bahwa ia bisa membuatnya dan wanita itu bisa mengambilnya besok. Untuk itu, ia pergi meninggalkan Ji Na dengan satu pesan maaf karena telah mengganggu ciumannya barusan.

Wanita itu menggigit bibir bawahnya, membahas ciuman itu...ia jadi teringat begitu jelas pada setiap lumatan yang Jae Hyun lakukan pada bibirnya. Kedua sudut matanya pun bergerak ke sudut, memperhatikan Jae Hyun yang mengisi salah satu bangku yang tersedia di dalam toko bunganya dengan diam-diam. Pandangannya sontak jatuh pada bibir tebal Jae Hyun. Tadi, pria itu menciumnya begitu halus. Ia ingat bagaimana Jae Hyun menguasai seluruh pergerakkannya dengan hati-hati. Rasanya mendebarkan dan---

SOUL.MATE = Don't Wanna Be Just FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang