Empat Puluh Tiga

135 8 0
                                    

 "Ya, Dad, aku akan pulang sekarang."

Melalui sambungan telphonenya, Ji Na baru saja melapor pada Ayahnya bahwa ia siap pulang. Waktu sudah bergulir larut malam, wajar jika Sang Ayah khawatir dan memintanya untuk segera pulang. Jadi, begitu Ludwig memutus sambungan telphonenya, Ji Na pun bergerak mengunci pintu toko bunganya dari luar.

Huf, pekerjaannya cukup banyak hari ini. Pesanan bunganya mengantri lantaran banyak keributan yang Jae Hyun ciptakan di tengah-tengah pekerjaannya. Beruntunglah semua selesai pada waktunya.

Tapi,

Ji Na celingak-celinguk ke sekitar, memperhatikan jalan trotoar yang cukup lebar dan kosong.

Jae Hyun menghilang cukup cepat tadi. Ia tak berpamitan. Sambil menelphone pada seseorang dari ponselnya, Jae Hyun langsung melesat pergi sambil berlari. Entah apa yang terjadi. Tapi, ia berhasil membuat Ji Na cukup hampa sepanjang sore tadi.

Lagian, kenapa juga Jae Hyun harus pergi setelah rentetan pernyataan yang membuat Ji Na bingung sendirian?

"Satu keputusanmu menjadi pilihan yang akan aku ambil, Ji Na. Aku akan tetap maju, atau menyerah, tergantung dirimu. Aku tidak ingin memaksa."

Seolah dapat tugas sekolah, Ji Na jadi memikirkannya terus. Ia cepat-cepat ingin dapat jawabannya, tapi tak tau apa.

Langkahnya sepanjang trotoar jadi begitu lesu. Ia memperhatikan sepatunya serta jalan trotoar yang begitu sepi. Sampai pandangannya menangkap bayangan seseorang dari pantulan lampu-lampu jalan di jalan trotoar. Wanita itu terkesiap, ia menoleh ke sisi kanannya, ke arah kaca-kaca jendela dari rentetan toko yang berjajar. Berusaha mencari tau siapa yang membuntutinya malam-malam.

Pantulan postur badannya.

Caranya berjalan.

Siluet wajahnya.

"Jeffrey?" batin Ji Na menebak pria yang membuntutinya dari belakang.

Senyumnya tanpa sadar terangkat naik, menciptakan gelenyar aneh di tubuhnya, namun lega rasanya. Langkahnya jadi cukup yakin dan n yaman. Ia merasa aman setelah mengetahui bahwa Jae Hyun membuntutinya dari belakang. Sehingga tanpa sadar, langkah kaki Ji Na memelan. Ia biarkan waktu tak terlalu cepat berlalu.

*

Jae Hyun membawa kedua tangannya ke dalam saku mantel cokelatnya. Ia merapatkan jaketnya, berusaha menahan diri agar tak berlari menghampiri Ji Na demi memb erikan jaket tebal ini untuk wanita itu. Tidak. Ia tak mau jika Ji Na akan mengusirnya sekarang juga kalau ketahuan membuntuti. Jadi, ia biarkan angin dingin malam itu menemani langkah Ji Na bersamanya dalam keheningan. Toh, Ji Na masih terlihat begitu nyaman.

Pandangan pria itu tak lepas dari punggung kecil Ji Na yang berada beberapa meter di depannya. Senyumnya terulas tipis begitu mendengar alunan halus dari Ji Na. Wanita itu menggumamkan beberapa lagu di sela langkah santainya, dan hal itu berhasil membuat Jae Hyun begitu gemas.

Hembusan napas berat terhela dari mulut Jae Hyun, berharap Ia bisa mengurangi sedikit beban yang menyumpal penuh kepalanya saat ini.

Beberapa waktu lalu, Tae Yong menelphonenya; memberi tau Jae Hyun bahwa terjadi kekacauan kecil di kantor dan atasan mereka meminta mereka untuk segera ambil penerbangan cepat ke Korea besok.

Jae Hyun hampir tidak bisa berpikir sama sekali. Ia harus meninggalkan Ji Na, padahal ia sama sekali belum puas mengisi ruang rindunya. Wanita itu bahkan belum menunjukkan tanda-tanda apapun pada Jae Hyun. Sekarang, rasanya jadi sesak sekali. Jae Hyun harus pergi tanpa tau kapan akan bisa menemui Ji Na lagi.

Untuk itulah, malam ini, ia memutuskan untuk menghabiskan sisa waktunya menemani Ji Na pulang. Mengisi ruang memori dalam kepalanya dengan gumaman nyanyian Ji Na sepanjang jalan.

*

Pagar rumah Ji Na sudah tampak di depannya. Wanita itu diam-diam melirik ke belakangnya, memastikan bahwa Jae Hyun masih di sana membuntutinya. Senyumnya tergelar lebar, meskipun kepalanya masih begitu penuh sesak oleh tugas menjawab pernyataan Jae Hyun siang tadi. Tapi, yah, baiknya kita pikirkan besok, pikirnya.

Bye, Jeffrey. Terima kasih sudah mengantarku sampai rumah, batin Ji Na sambil membuka pagar hitam yang berdiri menjulang melindungi rumahnya. Wanita itu melengang masuk, meninggalkan Jae Hyun yang bersembunyi di balik pohon dekat rumah Ji Na.

*

Jae Hyun memperhatikan dengan seksama rumah besar berlantai 2 yang ada di hadapannya. Kedua tangannya ia selipkan ke dalam saku celananya sambil memperhatikan Ji Na yang perlahan-lahan menghilang di balik pagar hitam rumahnya.

Bye, Ji Na. Kuharap kita bisa bertemu lagi lain waktu, batin Jae Hyun sambil menyunggingkan senyum kecut. Terima kasih sudah membiarkanku mengganggumu selama dua hari.

Langkah berat Jae Hyun pun ia ambil, membawa tubuhnya meninggalkan rumah itu meskipun enggan. Rasanya semakin berat untuk meninggalkan Ji Na; meninggalkan wanita yang ia cintai tanpa tau kapan ia akan bisa menemuinya lagi. Tanpa tau, apa ia bisa membawa wanita itu ke dalam pelukannya lagi?

*

Di sisi lain, setelah beberapa saat, Ji Na kembali membuka pintu pagarnya. Kepalanya menyembul di sela-sela pagar untuk memperhatikan punggung Jae Hyun yang semakin jauh meninggalkannya. Senyum wanita itu perlahan-lahan luntur, berganti menjadi sebuah perasaan sesak yang tak berujung.

"Satu keputusanmu menjadi pilihan yang akan aku ambil, Ji Na. Aku akan tetap maju, atau menyerah, tergantung dirimu. Aku tidak ingin memaksa."

Tugas Ji Na belum juga selesai. Jawaban atas keputusan yang Jae Hyun tunggu belum juga bisa Ji Na ambil. Ia tak mau membayangkan, hidup tanpa Jae Hyun atau hidup dengan Jae Hyun.

Ia tak mau terlalu berangan-angan.

Wanita itu menghela napas panjang dan berat.

"Apa kau benar-benar serius masih menginginkanku, Jeff?"

Sementara, suara dehaman berat terdengar dari arah belakangnya. Ji Na menoleh, mendapati Ludwig di sana dengan senyum manis di sela-sela janggut lebatnya.

"Aku hanya..."

"Aku melihat dari jendela kamarmu tadi," Ludwig menyela, mengambil posisi berdiri persis di sisi putrinya sambil merangkul, "Jeffrey menemanimu pulang?"

Ji Na berdeham. Tak mau menjawab.

"Manis sekali, hum?" Ludwig menggodanya, menyentil halus puncak hidung putrinya dengan gemas.

"Sudahlah. Ayo masuk," Ji Na enggan menanggapi. Wanita itu meninggalkan Ludwig memasuki rumahnya.

"Kau tidak berniat pulang ke Korea bersama Min Hyun? Katanya dia menunda kepulangannya menjadi minggu depan," Ludwig menyusul.

"Apa sih, Ayah?"

"Siapa tau ingin kembali dengan Jeffreymu?"

"Ish! Kau yang melarang Jae Hyun mendekatiku dulu. Sekarang apa yang kau lakukan, huh?"

"Hey~"

"Aku tidak mau dengar~"

Sang Bungsu berlari, kabur dari tingkah jahil Ayahnya yang sibuk menggoda perasaannya tanpa henti. 

SOUL.MATE = Don't Wanna Be Just FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang